Thursday, August 16, 2012

Rumah Panas

CERPEN
Jujur saja, kalau tidak ada gempa tektonik di Jogja beberapa tahun yang lalu, aku tak akan pernah memiliki rumah ini. Aku seorang pejabat teras, yang berkuasa atas dana bantuan pemerintah untuk korban gempa waktu itu. Sebuah tempat yang basah, dan aku tak sedikit pun melalaikan anugerah itu.
Aku membangunnya dengan menghabiskan hampir 20 miliar. Rumah impian setiap manusia yang hidup di dunia ini. Rumah ini, berdiri di sekitar 2 hektar tanah. Pintu gerbang ke rumah ini, sekitar 500 meter. Dan di depan pintu gerbang di pasang kamera CCTV, agar satpam-satpam yang berjaga bisa melihat siapa saja yang berkunjung ke rumahku.
Dari pintu gerbang, tamu akan melewati hutan kecil buatan, tempat hidup beberapa ekor rusa yang kupesan dari teman di Kalimantan. Rusa-rusa itu berkembang pesat dan dari dua pasang, sekarang telah ada sekitar 15 ekor rusa. Untuk merawatnya, aku membayar satu orang khusus, dari kebun binatang kota. Rumah itu ada di tengah-tengah hamparan hutan kecil dengan berbagai tanaman pilihan.
Memasuki meter ke 300, genting merah itu sudah kelihatan. Sungguh megah di antara pohon cemara yang rapi berjajar. Ketika sampai di halaman, akan disambut jembatan kecil yang akan menghubungkan halaman dan pintu utama depan. Teras depan dipenuhi dengan pepohonan yang ditata di pot-pot cantik berbahan keramik. Lantainya mengkilat, wajahmu pun bisa terlihat dari pantulan keramik berwarna coklat itu. Siapa pun yang berkunjung ke rumah itu berdecak kagum.
"Luar biasa!"
Awal-awal tahun selesai dibangunnya rumah itu, kami sekeluarga menikmati dengan tenang. Kami pindah dari rumah dinas yang berada di tengah kota, ke rumah itu. Anak-anak memilih kamarnya sendiri-sendiri. Dan istriku beberapa kali mengadakan pesta dengan teman-temannya untuk memamerkan rumah kami.
Beberapa staf di kantor pun meminta untuk sesekali mengadakan rapat di rumahku. Para pembantu sibuk membuat makanan. Istriku sibuk belanja untuk membeli keperluan tambahan agar wah. Buah-buahan impor, segala macam snack bermerek, minuman kalengan dan juga yang sedikit beralkhohol.
Waktu terus berlalu, rumah indah yang nyaman itu mulai berulah. Suatu ketika, aku sedang berada di luar negeri untuk sebuah acara dinas. Dan di rumah hanya ada istriku, anak-anakku, beberapa pembantu rumah tangga dan para satpam dan sopir.
Awal kali pertama, adalah ketika seekor rusa mati di teras rumah. Istriku menjerit melihat rusa itu terkulai dengan mulut penuh busa. Entah makanan apa yang baru saja dimakannya. Selang beberapa hari, seekor rusa mati lagi, sampai akhirnya sekitar 15 ekor yang hidup di hutan buatan kami mati satu per satu.
Peristiwa kedua, ketika anak perempuanku menjerit-jerit di malam hari. Dia berteriak, mengaku melihat hantu besar yang menarik-narik tangannya. Biar pun sudah SMA, dia ketakutan juga dikejar halusinasi, monster berbulu lebat itu. Akhirnya dia tidur di kamar utama bersama istriku dan tak berani menginjak lagi kamarnya sendiri.
Peristiwa ketiga, dua pembantu perempuan kejatuhan genteng yang melorot. Untung saja tidak kejatuhan di kepala mereka melainkan tepat di depan kaki mereka. Entah mengapa, genting teras belakang tiba-tiba melorot jatuh. Selain itu dia sering menemukan hal-hal aneh seperti air yang berbau sangat amis atau makanan yang baru dimasak yang langsung basi. Akhirnya mereka minta keluar.
Peristiwa ke empat, tukang kebun yang tinggal di paviliun para pembantu, mengaku dikejar-kejar kuntilanak yang datang setiap malam menjelang. Mereka juga heran karena di paviliun yang berderat di belakang rumah utama itu, sering tercium bau wangi atau sebaliknya, bau yang sangat amis. Akhirnya para penghuninya, yaitu para satpam, tukang kebun, sopir dan keluarganya meninggalkan paviliun bersama keluarganya.
Peristiwa ke lima, anak laki-lakiku terjatuh di tangga. Kata dia pegangan tangga yang melingkar dan berujung di ruang tenagh itu tiba-tiba meliuk seperti ular. Apakah seorang mahasiswa akan berbicara ngawur. Dia melihat pasti pegangan itu mengombang-ambingkannya sehingga dia terjatuh dari tangga. Jatuhnya tidak seberapa, tetapi bayangan tubuh seperti ular dipegangan tangga itu menjadi trauma baginya, sampai-sampai tidak berani naik ke lantai dua, dan tidur di kamar utama bersama istriku dan anak perempuanku.
Peristiwa ke enam, istriku sendiri yang mengalami. Suatu siang, selepas dari berbelanja mobilnya memasuki gerbang. Gerbang sudah tidak ada satpam, dan sopirnya sudah berhenti. Istriku nyetir sendiri, tetapi saat berada di tengah hutan, dia seperti tak bisa mengendalikan setir, dan terus menerobos pepohonan yang rapat, keluar dari jalan aspal. Mobil itu belum setahun dibeli, tetapi sudah bopeng sana sini, dan nyaris hancur. Anehnya istriku tidak apa-apa, lecet pun tidak. Cuma dia merasakan ada yang aneh ketika mobil memasuki halaman rumah. Mobil itu seperti jalan sendiri, dan sejak saat itu, istriku tidak berani menaikinya lagi, dia menyebutnya mobil setan.
Sebetulnya sudah seminggu ini, istri dan anak-anakku tidur di rumah mertuaku. Aku sudah selesai kunjungan dinasku dan kembali ke rumah. Rumah itu sudah kosong, dan malam itu aku tidur sendirian di kamar. Aku berusaha menikmati seluruh kemewahan di rumah itu sambil menghilangkan sisa penat yang ada.
Pagi itu aku bangun karena kehausan. Masih pukul lima pagi, masih gelap, biasanya aku bangun pukul enam, entah mengapa kali inj, aku merasa sangat haus. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil minuman. Saat aku berjalan di koridor, tiba-tiba ada puing-puing jatuh dari langit-langit rumah. Itu tidak mungkin karena genting dan bahan bangunan rumah ini dibuat dengan rancangan terbaik, dan bahan-bahan kualitas nomor satu.
Aku mundur untuk menghindari reruntuhan itu. Lalu melipir melintasi debu yang terus menerus mengalir ke bawah.
Aku melangkah ke dapur dengan rasa was was. Saat melewati ruang makan, ada suara keras, meja makan mahalku tiba-tiba ambruk. Seperti ada yang menginjak bagian atasnya. Aku kaget dan mundur. Tetapi lantai seperti bergoyang. Apakah sedang terjadi gempa? Langit-langit ruang makan juga menghamburkan debu-debu semen, seperti di koridor tadi, dinding-dinding bergerak-gerak.
Belum sampai di dapur, pintu dapur ambruk nyaris mengenaiku. Kusen pintu dan jendela ikutan berhamburan. Aku mundur, lalu mencoba berlari keluar dari ruangan itu. Puing-puing terus berjatuhan ke lantai. Masih dengan piyama aku menuju pintu garasi tidak jauh dari dapur. Kunci tergantung di salah satu dinding langsung kuraih dan kubuka pintu garasi otomatis.
Kunyalakan mobilku tetapi mobil mewah kesayanganku itu tak juga mau menyala. Sementara garasi itu seperti sudah mau ambruk. Aku pun berusaha keluar dari mobil. Tanah seperti bergoyang, dan sekuat tenaga aku mencoba bertahan dengan berpegangan pada mobilku. Lalu berlari menghambur keluar dari rumah itu.
Herannya di luar rumah, tidak ada goyangan mirip gempa itu. Langit tenang, pepohonan ranum menghijau oleh sinar matahari pagi. Aku terus berlari, dan berhenti keget saat mendengar suara gedebum luar biasa keras. Aku menengok ke belakang, kulihat rumah mewah itu ambruk, rata dengan tanah. Aku kucek-kucek mataku masih tak percaya. Rumah kebanggaan itu telah berubah menjadi puing-puing. Dan aku hanya melompong.
***
Di sebuah desa nan jauh di kawasan Klaten Jawa Tengah. Sekitar enam tahun yang lalu, saat ada gempa tektonik menggoyang dahsyat, seluruh kabupaten itu hancur berantakan. Hanya ada satu dua bangunan rumah milik masyarakat yang tersisa.
Salah satu keluarga yang menjadi korban gempa yang maha dahsyat itu adalah keluarga Purwanto. Purwanto seorang petani, yang hidup dengan seorang istri dan dua orang anak laki-laki yang sudah mentas dan tidak tinggal di situ lagi.
Pas gempa itu terjadi, Purwanto sedang bercengkerama dengan istrinya. Begitu gempa datang, rumah seperti digoyang-goyang oleh tenaga yang luar biasa. Mereka lari keluar rumah dan menyaksikan rumah mereka, yang dibangunnya sedikit demi sedikit itu ambruk, rata dengan tanah.
Kampung itu ramai, jeritan dan keluhan warga yang sedang shock menyaksikan rumah mereka ambruk berhamburan di segala sudut desa. Dia berpegangan dengan istrinya tanpa bisa apa-apa.
Setelah gempa reda, mereka mencoba mencari barang-barang yang bisa diselamatkan. Baju-baju di dalam lemari tertimbun reruntuhan. Segala macam piring gelas dan perabotan berantakan dan pecah dimana-mana. Beberapa panci aluminium bisa diselamatkan. Dan kemudian Pur tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan seluruh penduduk kampung.
Sebulan dua bulan, tetap tinggal di situ dilayani oleh beberapa orang aktivis. Makan minum seadanya, antri kamar mandi dan toilet dengan lingkungan kamp yang kumuh. Para aktivis terus memperjuangkan ganti rugi. Pemerintah terus ditekan, untuk segera memberikan ganti rugi untuk korban gempa. Berita gembira pun datang. Pemerintah mengumumkan bahwa setiap keluarga akan mendapatkan ganti rugi sebesar 50 juta rupiah. Itu artinya mereka bisa membangun rumah kembali.
Hari terus berlalu, dari penantian ke penantian, dari harapan ke harapan. Sampai akhirnya Pur dan pengungsi yang lain, dikumpulkan di kantor kepala desa, yang juga hancur karena gempa. Semua pengungsi korban gempa bersila di tikar-tikar. Kepala desa dan pejabat-pejabat lain, juga stafnya duduk menghadap penduduk yang kusut masai karena keadaan.
Entah mereka bicara apa. Sahut menyahut antara petugas dan para aktifis LSM. Tetapi bagi Pur, yang penting ada bantuan dana seperti yang dikatakan pemerintah di televisi, dan bisa membangun kembali rumahnya dan hidup dengan layak seperti sedia kala.
Setelah rapat selesai, pengungsi dipanggil satu per satu oleh petugas berseragam. Mereka tanda tangan menerima bantuan. Setiap orang mendapatkan 13 juta rupiah.
"Kok hanya 13 juta," kata Pur pada seorang aktifis.
"Orang-orang gila, 50 juta dipotong sana sini tinggal 13 juta," kata aktifis itu dengan marah dan kesal.
Semua pulang ke rumah membawa dana bantuan untuk membangun rumah senilai 13 juta. Uang itu dibelikan dinding bambu dan genteng. Lumayan untuk berteduh. (Fiksi ini, terinspirasi dari kisah nyata)
#Kado ulang tahun buat almarhum Bapak... Rindu dan cinta dari anak perempuanmu.
#Selamat ulang tahun juga untuk Indonesia-ku.
Jakarta 17 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment