Friday, February 22, 2013

Andrea Korban Industrialisasi Novel

OPINI
Perseteruan antara Andrea Hirata dengan para blogger semakin memanas. Penulis Tretalogi Laskar Pelangi itu mendapat kritikan-kritikan pedas, dianggap telah melecehkan para kritikus sastra di Indonesia. Konflik ini muncul pertama kali ketika Andrea mengklaim, novelnya tetralogi Laskar Pelangi menjadi novel best seller dunia. Oleh Damar Junianto, klaim itu melebih-lebihkan.
Apalagi Andrea juga mengatakan bahwa dalam kurun waktu seratus tahun ini tidak ada karya sastra Indonesia yang mendunia. *Setahuku Pramoedya Ananta Toer mendapatkan penghargaan Mag say say. Bukan main-main nih.* Makanya Andrea dianggap melecehkan penulis sstra asal Indonesia sekelas Pramoedya Ananta Toer.
Membaca Novel Laskar Pelangi, memang seperti menghirup udara baru novel indonesia. Meriah dengan kata-kata asing, kepedihan yang menyayat, sekaligus kehidupan sederhana para tokoh-tokohnya. Novel ini laris manis. Dan nama Andrea Hirata melambung menjadi novelis selebritis di Indonesia.
Masyarakat pembaca tentu berbeda dengan masyarakat kritikus sastra. Masyarakat suka hal baru yang menginspirasi. Dan tergantung bagaimana novelis mengiklankan novelnya. Tidak peduli seperti apa tata bahasa dan penguasaan teknis menulis dari karyanya. Itu mungkin juga karena media masa yang melebih-lebihkan promosi tentang novelis dan novelnya, sehingga terjadilah keingianan untuk membeli novel itu.
Andrea, adalah korban dari industrialisasi dunia novel. Saya penulis novel, dan sering mendengar keluhan para penulis yang lain, bagaimana sulitnya menembus penerbit. Sementara novel yang logika dan teknis penulisannya amburadul bisa terbit bahkan best seller.
Saya kaget ketika membaca Novel Surat Untuk Tuhan karya Agnes Dovonar. Novel itu menunjukkan bahwa penulisnya tidak paham penulisan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tetapi laris kayak kacang goreng bahkan difilmkan. Lalu novel Poccongg, novel itu menggunakan kata ganti gue, yang tentu saja menyimpang dari tata bahasa yang benar. Tetapi digemari remaja, sampai-sampai menjadi trend, lalu para penulis ikut-ikutan membuat novel jenaka tentang makhluk halus.
Novel bisa terbit asal sesuai dengan selera pasar, begitu biasanya alasan penerbit. Seperti sinetron-sinetron kita. Orang menyebutnya sinetron sampah, tetapi tetap saja tayang bahkan episodenya bisa bertahun-tahun. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita memang seleranya masih "segitu."
Berbeda dengan di sini, di negara maju, ketertarikan pada karya sastra sangat besar. Kajian-kajian kesusasteraan menjamur. Tetapi di sini, novel sastra hanya jadi koleksi perpustakaan. Tidak laku.
Saya senang membaca persetereruan ini, itu artinya masyarakat kritikus sedang menggeliat. Semoga geliat ini akan menggugah para penulis novel Indonesia mau meningkatkan kualitas dirinya mnjadi lebih baik. Masyarakat pmbaca pun akan ikut terkatrol. Semua perlu belajar bersama.
Andrea, go head, calm calm...
Tunjukkan karya lebih baik di masa mendatang, biar para kritikus yang kejam itu terkagum-kagum....

No comments:

Post a Comment