Monday, June 24, 2013

Merenung Kebahagiaan dan Kesedihan Sebagai Ujian Hidup

Agar seorang mukmin tetap merasa tenang dengan kepenatan kehidupan dan musibahnya, menghadapinya dengan ridha, sabar, dan berharap pahala di sisi Rabbnya, dengan kalbu yang tulus, tidak mengangan-angankan berbagai nikmat duniawi,serta tidak iri kepada pemiliknya.

 

Bahkan penting bagi seseorang untuk tidak merasa tenteram dengan keselamatan dan nikmat (yang sementara ini ada pada dirinya) serta tidak terus condong kepadanya. Bahkan ia menyambut semua itu dengan tetap merasa khawatir dan penuh kehati-hatian, disertai rasa takut. Khawatir bilamana semua itu ternyata disediakan (sebagai ujian) untuknya karena adanya cacat pada imannya.

 

Marilah kita duduk sesaat, tinggalkan segala kesibukan pikiran. Sejenak kita merenung, niscaya kita akan mendapat manfaat, insya Allah.

 

 

Pertama, Merenungi mulianya suatu kebenaran dan hinanya perbuatan bathil.

Caranya adalah dengan merenungi keagungan Allah Subhanahuwata’ala, Rabb sekalian alam,bahwa Dia mencintai kebenaran dan membenci kebatilan. Barang siapa mengikuti kebenaran, ia berhak memperoleh ridha-Nya. Allah Subhanahuwata’ala pun akan menjadi penolongnya di duniadan akhirat, sehingga Allah Subhanahuwata’ala akan memilihkan segala sesuatu yang Dia  ketahui baik dan mulia baginya hingga Allah Subhanahuwata’ala mewafatkannya.

Allah Subhanahuwata’ala juga akan mengangkat derajatnya, mendekatkannya kepada- Nya, serta menempatkannya di sisi-Nya dalam keadaan mulia, diberi nikmat yang langgeng dan kemuliaan yang abadi, yang angan-angan tidak akan mampu membayangkan kebesarannya.

Adapun seseorang yang condong kepada kebatilan, dia berhak mendapat kemurkaan Rabb sekalian alam dan hukuman-Nya. Barang siapa di antara Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi  rahimahumullah. mereka diberi-Nya sedikit kenikmatan dunia, hal itu sesungguhnya karena rendahnya dia di sisi-Nya, untuk menambahnya semakin jauh dari-Nya dan agar Allah Subhanahuwata’ala melipatgandakan untuknya siksaan di akhirat dengan siksaan yang pedih lagi kekal dan tidak dapat dibayangkan kedahsyatannya oleh akal siapapun.

 

Kedua, Merenungi perbandingan kenikmatan dunia dengan ridha Rabbul Alamin beserta kenikmatan akhirat.

Juga perbandingan kesengsaraan dunia dengan murka Rabb sekalian alam dan siksaan akhirat. Juga mentadaburi firman Allah Subhanahuwata’ala,

Tatkala kebenaran (al-Qur’an) itu datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orangyang mengingkarinya.” Dan mereka berkata, “Mengapa al Qur’an ini tidak diturunkan  kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu?” Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Rabbmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang orang yang kafir kepada Rabb Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga tangga ( perak) yang merekame naikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya. Dan ( Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu disisi Rabbmu adalah bagi rang-orang yang bertakwa. (az-Zukhruf: 30—35)

 

Dipahami dari ayat di atas, apabila manusia tidak jadi satu umat, tentu Allah Subhanahuwata’ala akan memberi ujian bagi kaum mukminin dengan sesuatu yang luar biasa, di antaranya dengan kafakiran yang sangat, mudarat, rasa takut, kesedihan, dan selain itu. Cukup (bukti) bagi Anda bahwa Allah Subhanahuwata’ala menguji para nabi-Nya dan orang-orang pilihannya.

Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “… permisalan seorang mukmin bagaikan ranting yang lentur dari sebuah pohon, angin menggerakkannya, terkadang membuatnya miring dan terkadang menegakkannya sampai kering. Adapun permisalan orang fajir adalah bagaikan pohon khamah yang kaku, tegak pada pangkalnya, tidak ada yang bisa menggerakkannya sehingga (bila tumbang) tumbangnya sekaligus.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Maksudnya, ini sebagai pendidikan bagi kaum muslimin, agar seorang mukmin tetap merasa tenang dengan kepenatan kehidupan dan musibahnya, menghadapinya dengan ridha, sabar, dan berharap pahala di sisi Rabbnya, dengan kalbu yang tulus, tidak mengangan-angankan berbagai nikmat duniawi,serta tidak iri kepada pemiliknya.

Kemudian ia tidak merasa tenteram dengan keselamatan dan nikmat (yang sementara ini ada pada dirinya) serta tidak terus condong kepadanya. Bahkan ia menyambut semua itu dengan tetap merasa khawatir dan penuh kehati-hatian, disertai rasa takut. Khawatir bilamana semua itu ternyata disediakan untuknyakarena adanya cacat pada imannya.

Oleh karena itu, jiwanya berkeinginan menyalurkan nikmat-nikmat itu menuju jalan Allah Subhanahuwata’ala , tidak merasa tenteram dengan kelonggarannya dan juga tidak akan kikir, tidak bangga diri dengan karunia yang diberikan kepadanya, tidak sombong, dan tidak teperdaya. Hadits tersebut tidak menyinggung keadaan orang-orang kafir karena hujah terhadapnya telah jelas bagaimana pun keadaannya.

 

Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah di antara manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Para nabi kemudian yang serupa dengan mereka, kemudian yang serupa dengan mereka berikutnya, sehingga seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Bila agamanya kokoh, maka ujiannya semakin menguat. Tapi bila agamanya tipis maka dia pun akan diuji sesuai dengannya. Maka ujian itu akan terus menimpa seorang hamba sehingga Allah Subhanahuwata’ala akan biarkan dia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya salah.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan ad-Darimi)

Sungguh, Nabi Ayyub Alaihissalam telah diuji dengan ujian yang telah banyak kita dengar. Nabi Ya’qub Alaihissalam diuji dengan kehilangan dua putranya, dan sungguh pengaruhnya begitu besar pada kalbunya sebagaimana Allah Subhanahuwata’ala kisahkan dalam kitab-Nya,

Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,” dkedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). (Yusuf: 84)

 

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah diuji dengan ujian seperti yang telah kita baca pada kisah perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahuwata’ala bebankan kepada beliau tugas untuk mengajak kaumnya agar meninggalkan tradisi yang mereka tumbuh di atasnya, yang mereka ikuti dari nenek moyang mereka, baik berupa perbuatan syirik maupun kesesatan.

Dengan tegas beliau mengajak mereka secara sembunyi ataupun dengan terang-terangan, siang dan malam berkeliling di tempat-tempat perkumpulan mereka dan desa-desa mereka. Terus beliau melakukan itu selama tiga belas tahun, sedangkan mereka justru menyakiti beliau dengan sekeras kerasnya.

Padahal, sebelum itu, beliau telah hidup di tengah-tengah mereka selama empat puluh tahun atau lebih, dan beliau tidak pernah tahu ada yang mengganggu beliau. Beliau berasal dari kabilah yang mulia, di rumah keluarga yang terhormat, serta beliau pun tumbuh di atas akhlak yang mulia, karenanya beliau dihormati manusia dan dimuliakan manusia.

Beliau juga pada puncak rasa malu, ghirah, dan kemuliaan jiwa. Barang siapa yang seperti ini keadaannya tentu terasa sangat pedih saat diganggu, sangat berat baginya untuk maju menghadapi beragam gangguan, semakin terasa berat cobaan itu dengan jenis gangguannya. Yang ini merendahkannya, yang itu mencelanya, yang lain meludahi mukanya, dan yang ini berusaha menginjak lehernya saat beliau bersujud kepada Allah Subhanahuwata’ala.

 

Sementara itu, yang lain meletakkan ari-ari (isi perut) unta di atas punggung beliau saat sujud, yang ini memegang kerah bajunya dan mencekiknya, serta yang ini menusuk hewan tunggangannya sehingga tunggangannya memelantingkan beliau. Bahkan, pamannya sendiri selalu mengikutinya ke mana dia pergi untuk mengganggunya dan memperingatkan orang-orang darinya serta mengatakan bahwa dia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah pendusta, orang gila.

Ada pula yang menghasut orang orang bodoh untuk mengganggu beliau sehingga melemparinya dengan batu sampai kedua kaki beliau bercucuran darah. Mereka memboikotnya bersama keluarganya dalam waktu lama di sebuah lembah agar mati kelaparan. Mereka menyiksa para pengikutnya dengan siksaan yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang mereka baringkan di atas pasir yang panas saat terik matahari tanpa diberi air.

Ada pula di antara mereka yang dilempar ke dalam api sehingga tidak ada yang memadamkannya selain punggungnya. Bahkan, di antara mereka ada seorang wanita yang mereka siksa agar mau kembali ke agamanya. Ketika mereka putus asa dari kembalinya wanita itu, salah seorang dari mereka menikamnya pada kemaluannya sehingga mati.

Semua itu tidak lain karena beliau mengajak mereka untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya, dari kerusakan menuju kebaikan, dari kemurkaan Allah Subhanahuwata’ala menuju keridhaan-Nya, dari siksa- Nya yang kekal menuju kenikmatan-Nya yang abadi. Tetapi mereka tidak menoleh kepada semua itu, padahal bukti begitu nyata. Keinginan mereka, yang penting menyelisihi kemauan muslimin.

 

Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diuji dengan wafatnya kedua orang tuanya saat beliau masih kecil, lalu kakeknya, lalu pamannya yang dahulu melindunginya, lalu istrinya yang selama itu menenteramkannya dan meringankan bebannya. Kemudian cobaan terus menimpanya—dan perincian masalah ini panjang—padahal beliau adalah pemuka anak Adam, bahkan yangpaling dicintai oleh Allah Subhanahuwata’ala.

Perhatikanlah ini semua, agar kita mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa apa yang kita perebutkan matimatian berupa kenikmatan dunia berikut kedudukannya, ternyata tidak ada artinya di hadapan keridhaan Allah Subhanahuwata’ala dan kenikmatan yang abadi di sisi-Nya. Apa yang kita hindari, seperti kesengsaraan dunia dan kesusahannya, ternyata juga tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kemurkaan Allah Subhanahuwata’ala, kemarahan-Nya, dan kekekalan di neraka jahannam.

 

Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Didatangkan orang yang paling merasakan nikmat dari pendudukdunia dari penghuni neraka pada hari kiamat, lalu dicelupkan di dalam neraka satu kali celupan, lalu dikatakan kepadanya‘,Wahai anak Adam, apakahkamupernahsekalisajamelihat keindahan, apakah pernah sedikit saja melewatimus uatuk enikmatan?Maka ia menjawab,‘ Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.’ Di datangkan pula orang yang palingsengsara selama di dunia dari penduduksurgalalu dicelupkandengan satu kali celupan disurga, kemudian dikatakan kepadanya,‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah melihat kesengsaraan sedikit saja? Apakah pernah melewatimu kesusahan sedikit saja? Ia menjawab,‘ Tidak, demi Allah, wahai Rabbku, tidak pernah melewatiku kesengsaraan sama sekali dan aku tidak pernah melihat kesusahan samasekali’.” (Sahih, HR. Muslim) (insya Allah bersambung)

 


Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber::
Diterjemahkan oleh Qomar Suaidi za, dari kitab Al'Qa'idila Tashihil Aqaid
http://kebunhidayah.wordpress.com/2013/06/20/merenungi-kebahagiaan-dan-kesedihan-sebagai-ujian-manusia/ 10 Bahan Renungan, Majalah AsySyariah Edisi 083

No comments:

Post a Comment