Saturday, September 7, 2013

Slamet

WONG CILIK
Di depan kantor lama Jawa Pos Jakarta, ada seorang pedagang kios rokok, bernama Slamet. Slamet laki-laki Jawa yang sudah bertahun merantau ke Jakarta. Tubuhnya pendek ipel-ipel, berkulit hitam dan memiliki dua tangan kokoh dan berotot. Seperti kebanyakan lengan petani Jawa yang bertubuh kekar.
Warung rokok itu dimulai dari sebuah kerombong kayu, menjual berbagai macam rokok dan permen. Lama kelamaan Slamet juga menyediakan minuman dingin di kotak pendingin, isinya minuman bersoda, teh botol maupun minuman kesehatan dan energi. Slamet juga menjual kue kering murahan dan berbagai cemilan yang digantung jendela di kerombongnya.
Ada dua bangku panjang di tata rapi. Bangku panjang itu menjadi tempat yang nyaman bagi para wartawan untuk merokok atau mengaso setelah memburu berita. Dari situlah, kemudian Slamet mulai menyediakan menu kopi, cofemix, teh hangat dan mie instan.
Warung rokoknya makin ramai, tidak pernah sekali pun kulihat Slamet duduk bersantai. Selalu saja ada pesanan kopi, mie rebus dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Slamet membawa thermos besar, dan air dimasak dengan menggunakan teko elektronik yang tinggal dicolokin ke stop kontak.
"Kopi sama minuman hangat ini yang untungnya lumayan, Mbak..." katanya.
"Gitu ya Pak?"
"Iya, terus rokok ketengan, sopir angkot biasanya beli ketengan..."
"Syukurlah..."
Memang kantor itu berada di jalur angkot yang ramai. Dan para sopir ini ternyata konsumen lain yang potensial. Kalau ada yang membeli tak perlu turun dari angkot, Slamet yang menghampiri dan memberikan rokok sekalian membawakan korek.
Perjuangan Slamet memang luar biasa, setelah bekerja sebagai pedagang rokok pinggir jalan selama 10 tahun, akhirnya dia berhasil membangun rumah. Slamet membeli tanah di Bojong Gede Depok dan membangunnya sedikit demi sedikit. Setelah selesai, dia pindah dari kontrakan kumuhnya dan meninggali rumah itu.
Rumah itu sangat jauh dari lokasi berjualan. Setiap pagi, Slamet naik kereta api KRL untuk bekerja. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam perjalanan. Namun semua itu tak menyurutkan semangatnya untuk menafkahi istri dan dua anaknya.
Jakarta, 8 September 2013

No comments:

Post a Comment