Wednesday, July 25, 2012

Kuli Panggul vs Buruh Pabrik

CERPEN
Suwandi memandangi tangan kanannya yang terkilir. Ada memar hitam di lengannya. Gara-gara salah urat, Suwandi mesti bolak balik ke tukang urut. Tetapi rasa nyeri itu tak juga hilang dari tangannya. Sebelumnya, dia pernah terkilir, bahkan sering terkilir, tetapi kali ini yang terparah. Mungkin karena usianya yang sudah tua.
Istrinya Sul, datang membawakan kopi pagi itu. Rambutnya yang panjang seperti ekor kuda di belakang. Menari oleh gerakan tubuh perempuan bertubuh subur itu.
"Masih sakit, Pak?" tanya istrinya.
"Masih, mungkin aku sudah terlalu tua, jadi otot-ototku tak kuat lagi seperti dulu," jawab Wandi sambil meringis.
Diambilnya selembar koyo, dan dibubuhkan di lengan yang hitam itu. Pikirannya melambung membayangkan anak sulungnya Wanto. Anak sulungnya ini, memiliki tubuh yang gempal, seperti dirinya. Kaki-kakinya besar dan kokoh. Lengannya berotot dan besar seperti lengan seorang super hero. Dan jemari tangannya yang besar-besar, mampu mencengkeram dengan erat.
Wanto memiliki tiga orang adik perempuan, mereka juga bertumbuh subur seperti ibunya. Bahkan si bungsu yang sekarang sudah remaja, persis dengan ibunya. Diantara empat anaknya ini, Wantolah yang menjadi harapannya untuk menjadi penerusnya sebagai kuli panggul di pasar.
"Dia masih marah, Bu?" tanya Wandi.
"Masih," jawab istrinya.
Beberapa hari lalu Wandi bersitegang dengan Wanto. Sudah duapuluh lima tahun dia menjalani profesinya sebagai kuli panggul. Bahkan sebelum menikahi Sul, yang waktu itu adalah penjual kerupuk di pasar. Tidak mudah untuk mendapatkan lisensi kuli panggul di pasar itu. Selama 25 tahun itu, keanggotaannya hanya 15 orang tidak boleh ditambah lagi. Lisensi itu bisa diwariskan ataupun dijual.
"Sebaiknya jangan dipaksa, Pak," kata istrinya menghiba.
"Sayang, Bu, banyak yang menginginkan bagianku, kalau sampai ke jual, habislah sejarah kelu
arga kita di pasar itu," ujar Wandi.
Matanya menerawang sore itu. Wanto usai melamar kerja di sebuah pabrik yang lagi dibangun di pinggiran kota kecamatan itu. Wanto sangat ingin bekerja di pabrik, seperti anak-anak kampung sebayanya. Bagi kalangan remaja di kampung itu, menjadi buruh pabrik adalah wajib. Sebuah harga diri yang nilainya tiada tara.
"Kalau tidak diterima jangan sedih, kamu bisa menggantikan Bapak di pasar," ujar Wandi.
"Tidak, Pak, Wanto harus diterima," jawab remaja yang sudah dua tahun menganggur setelah menamatkan sekolah kejuruan atas itu.
"Sainganmu kan banyak, bahkan banyak yang dari luar kota ini," ujarnya menenangkan anaknya.
"Iya Pak, itu yang membuatku resah, saingan..."
"Ya nanti kalau tidak diterima, kamu gantikan Bapak saja di pasar, Bapak kan sudah tua," ujar Wandi.
"Tidak Pak, maksud Bapak apa, aku tidak mau menjadi kuli panggul, Pak, bukankah aku sering katakan itu," Wanto ngotot sambil menantang Bapaknya.
"Maksud Bapak sambil menunggu ada pembukaan lagi di pabrik!"
"Jangan memaksaku Pak, aku nggak mau jadi kuli," Wanto meninggalkan bapaknya dengan marah. Dan hari ini, adalah hari kedua dia tak menyapa Bapaknya.
Wandi memijat memar itu, aachh... Terasa nyeri. Yang lebih membuatnya perih, bahwa kenyataan Anaknya tak mau mewarisi lisensinya sebagai kuli panggul di pasar itu yang selalu menjafi kebanggannya.
Daripada bekerja di pabrik, mengenakan seragam tolol itu, bekerja siang dan malam, tergantung sif. Jadwal diatur oleh mandor, dan tidak boleh terlambat, apa enaknya. Sudah gitu harus menghadapi mesin yang terus memproduksi barang-barang. Mesin besar seperti raksasa yang siap menelan siapa saja.
Seperti suaminya Atun. Pulang dari Jakarta di masukkan ke peti, karena tubuhnya hancur digilas oleh mesin. Bukan hanya nyawa yang tak ada harganya, matipun menjadi serpihan-serpihan daging tanpa bisa terlihat wajahnya secara utuh.
Tetapi pada kenyataannya, anaknya Wanto menginginkan pekerjaan itu melebihi apapun. Bahkan melebihi rasa hormat kepada Bapaknya. Padahal, sudah banyak yang mengincar statusnya sebagai kuli panggul dan siap membayar jutaan untuk mendapatkan lisensi ini.
Bejo, si tukang sayur, kemarin sudah menanyakan hal itu pada istrinya. Katanya penghasilanya sebagai tukang sayur pas-pasan. Setiap hari harus berhadapan dengan para ibu yang mati-matian menawar apapun yang dijualnya, meskipun dia hanya mengambil untung lima ratus rupiah. Kemudian Paidi, Paidi si tukang becak juga suadh bosan mengayuh becak. Kalah dengan becak mesin, sementara penumpang berkurang karena kredit motor yang murah. Juga beberapa orang sekampungnya yang mengincar jabatannya sebagai kuli panggul di pasar. Mereka seperti tahu kalau dia mulai tua dan sering masuk angin.
Memang sih menghasilan sebagai kuli panggul lumayan. Biarpun kerja otot, tetapi tak jarang Wandi mengantongi uang seratus ribu rupiah sehari bersih. Uang hasil kerjnya pula yang membuat dia mampu membeli rumah kecil sederhana untuk hidup dia, istri dan tiga anaknya.
Beberapa hari kemudian, Wanto tampak berdiri di depan cermin untuk mematut seragam pabriknya. Hemnya berwarna hijau telur, dan celanyanya hijau senada. Wandi memandangnya dengan perasaan galau. Anaknya akan seperti pemuda-pemuda sekitar bekerja di depan mesin-mesin besar sambil melontarkan kata-kata jorok kepada buruh perempuan.
Pulang kecapaian dengan wajah tegang karena kepala pening, seharian harus mendengarkan deru gemeluduk mesin yang kasar. Anaknya melirik ke arah laki-laki itu. Wandi berusaha menghindar tetapi, mereka berdua terlanjur bertatapan. Lalu Wanto kembali menatap cermin itu. Tanpa menoleh kepada ayahnya, dia ngeloyor pergi untuk kerja di hari pertamanya.
Wandi menahan sesak didadanya. Lalu dia menuju kamar dan membuka lemari baju. Dikeluarkannya sebuah stop map kertas, dan disitu tersimpan lisensi sebagai kuli di pasar kecamatan. Dipandanginya dengan wajah nanar. Tubuhnya sudah loyo dan tak sanggup lagi otot-ototnya menahan beban. Dia kapitnya stop map itu di ketiaknya, lalu dia berjalan ke luar rumah. Dia akan menawarkan lembaran kertas itu kepada beberapa temannya. Kalau harganya cocok uangnya akan digunakan untuk usaha.
Anaknya sudah tak mau mewarisi profesinya, dia lebih bangga menjadi hamba mesin dari pada menjadi seorang kuli panggul, seperti Bapaknya.
Jakarta, 25 Juli 2012

No comments:

Post a Comment