
Showing posts with label Wong Cilik. Show all posts
Showing posts with label Wong Cilik. Show all posts
Saturday, September 7, 2013
Slamet

Tuesday, August 27, 2013
Yang Penting Bisa Makan

Saturday, August 24, 2013
Honor Bu Guru

Rejeki Abang Becak

Thursday, August 22, 2013
Karena Aku Buta

Saturday, July 20, 2013
Masa Kecil Kurang Bahagia

Sunday, July 14, 2013
Penjual Nasi Bungkus
WONG CILIK Di sekolah anakku, banyak pedagang tersembunyi. Mereka itu adalah para orang tua (ibu-ibu) yang mengantar dan menjemput anaknya. SDN tersebut tidak memiliki peraturan yang ketat. Maklum sekolah rakyat pemiliknya adalah rakyat. Well, ini cerita tentang Bu Umi. Di sekolah itu siapa yang tak kenal Bu Umi. Perempuan kurus dengan pakaian seadanya, namun selalu tersenyum manis. Bu Umi sangat ramah dan menyenangkan. Setiap pagi, Bu Umi mengantar anaknya (kelas 5) ke sekolah dengan sepeda motor. Sambil memboncengkan anaknya di belakang, kanan kiri motor itu ada tas motor penuh dengan dagangan. Bu Umi menjual nasi bungkus. Nasi bungkus berupa nasi goreng, nasi kuning atau nasi telur. Bungkusan sangat kecil (seperti nasi kucing) pas untuk perut anak-anak. Harganya pun murah 1500 rupiah. Anak-anak SD rata-rata uang saku 5000 rupiah. Selain nasi, Bu Umi juga menjual mie goreng, bihun goreng, dan lain-lain. Pokoknya makanan yang mengenyangkan. Harganya pun sama, 1500 rupiah, murah meriah tetapi kenyang. Tak heran bila para ibu lebih senang anaknya jajan di tempat Bu Umi daripada jajan makanan kemasan murahan. Setiap hari, perempuan itu bangun pukul tiga pagi. Lalu mulai memasak dan membungkus nasi itu dibantu suaminya. Kadang-kadang anak perempuannya juga ikut membantu, karena dia harus membungkus lebih dari seratus buah. Belum mie dan bihun goreng yang dibungkus dengan plastik mika. Di sekolahan, Bu Umi tak memiliki lapak khusus. Dia duduk saja di teras dan nasi-nasi di tata rapi dalam keranjang plastik, dan ditaruh di dekatnya. Semua orang sudah tahu. Karena perempuan itu selalu datang pagi-pagi, banyak anak-anak yang belum sarapan dibelikan nasi di situ oleh ibunya. Bu Umi, memiliki tiga orang anak. Sementara suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Buruh serabutan. Namun begitu anak-anaknya pintar-pintar. Anak sulungnya, saat ini bersekolah di SMU favorit. Dan selalu mendapatkan ranking. Katanya juga didorong guru-gurunya untuk mendapatkan PMDK. "Gak tau nih Mbak, kalau dia diterima PMDK, bisa gak ya bayarin kuliahnya..." Demikian juga anaknya yang bersekolah di SMP. SMP-nya juga SMP favorit. Untuk bisa masuk sekolah itu, harus benar-benar pintar, karena persaingannya sangat ketat. "Tahun kemarin dapat ranking dua, Mbak..." katanya padaku. "Hebat ya Bu," jawabku. "Alhamdulillah, Mbak..." Penjual nasi bungkus itu melakukan hal terbaik yang bisa dia lalukan. Pekerjaan yang tidak istimewa. Dengan cara itu dia menyekolahkan anak-anaknya dan menghidupi keluarganya. Dan Tuhan menghadiahinya anak-anak yang cerdas. Sungguh Tuhan Maha Adil. Jakarta, 15 Juli 2013
Wednesday, July 10, 2013
Ratu Kucing

Saturday, February 16, 2013
Arman Tukang Pijit Tunanetra
WONG CILIK Di kampungku ada seorang tukang pijit tunanetra bernama Arman. Arman bertubuh subur dengan tangan yang kokoh untuk memijit. Langganannya banyak. Siapapun yang ingin di pijit laki-laki Betawi ini, tinggal menghubungi ojek yang mangkal di depan kompleks, dan bang ojek akan menjemput Arman untuk di atntarkan ke rumah pelanggan. Arman menikah dan memiliki seorang puteri yang normal. Puterinya sehat dan tumbuh menjadi anak yang periang. Istrinya adalah seorang perempuan Jawa bernama Aminah. Sebelumnya perempuan itu bekerja sebagai tukang sayur keliling. Sekarang, pelanggan lebih mudah, tinggal SMS ke Arman, maka istrinya yang akan mengantarkannya ke pelanggan. Selain menjadi tukang antar suaminya, Aminah juga berjualan pecel dengan menggunakan sepeda motor. Setiap pagi, Aminah berkeliling sambil berteriak: "Pecel... pecel... pecel..." Pelanggan pecelnya adalah para tukang yang bekerja di kompleks. Tetapi warga kompleks juga banyak yang suka dengan pecelnya yang berciri khas Jawa. Selain pecel Aminah juga menjual rempeyek buatannya sendiri, atau kerupuk yang hanya bisa diperoleh di Jawa. Yang mengharukan, seringkali Aminah membawa puterinya Ratih yang sekarang sudah berusia 5 tahun ikut berjualan. Anak itu membonceng di belakang ibunya, diantara dagangan yang disampirkan di jok belakang motor. Suatu hari aku membeli pecel Aminah. Perempuan itu menghentikan motornya di depan rumahku. Setelah itu menyuruh anaknya turun. Aku masuk ke rumah mengambil jajanan dan kuberikan kepada anaknya. "Kok anaknya dibawa, Mbak?" tanyaku. "Nggak ada yang ngemong, neneknya (ibunya Arman) lagi sakit." "Bang Arman lagi mijit?" "Enggak sih, ada di rumah, kalau anakku ku tinggal sama dia, kadang dia main jauh nggak ketahuan, maklumlah Bu, suamiku orang kayak gitu..." Perjuangan hidup yang patut diacungi jempol. Perempuan yang tiada pernah menyerah. Cacat fisik, kemiskinan, tidak membuat mereka berhenti untuk tetap mengais rejeki. Allah Maha Kaya, yang selalu menghidupi hamba-hambaNya. Jakarta, 17 Februari 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)