Showing posts with label Wong Cilik. Show all posts
Showing posts with label Wong Cilik. Show all posts

Saturday, September 7, 2013

Slamet

WONG CILIK
Di depan kantor lama Jawa Pos Jakarta, ada seorang pedagang kios rokok, bernama Slamet. Slamet laki-laki Jawa yang sudah bertahun merantau ke Jakarta. Tubuhnya pendek ipel-ipel, berkulit hitam dan memiliki dua tangan kokoh dan berotot. Seperti kebanyakan lengan petani Jawa yang bertubuh kekar.
Warung rokok itu dimulai dari sebuah kerombong kayu, menjual berbagai macam rokok dan permen. Lama kelamaan Slamet juga menyediakan minuman dingin di kotak pendingin, isinya minuman bersoda, teh botol maupun minuman kesehatan dan energi. Slamet juga menjual kue kering murahan dan berbagai cemilan yang digantung jendela di kerombongnya.
Ada dua bangku panjang di tata rapi. Bangku panjang itu menjadi tempat yang nyaman bagi para wartawan untuk merokok atau mengaso setelah memburu berita. Dari situlah, kemudian Slamet mulai menyediakan menu kopi, cofemix, teh hangat dan mie instan.
Warung rokoknya makin ramai, tidak pernah sekali pun kulihat Slamet duduk bersantai. Selalu saja ada pesanan kopi, mie rebus dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Slamet membawa thermos besar, dan air dimasak dengan menggunakan teko elektronik yang tinggal dicolokin ke stop kontak.
"Kopi sama minuman hangat ini yang untungnya lumayan, Mbak..." katanya.
"Gitu ya Pak?"
"Iya, terus rokok ketengan, sopir angkot biasanya beli ketengan..."
"Syukurlah..."
Memang kantor itu berada di jalur angkot yang ramai. Dan para sopir ini ternyata konsumen lain yang potensial. Kalau ada yang membeli tak perlu turun dari angkot, Slamet yang menghampiri dan memberikan rokok sekalian membawakan korek.
Perjuangan Slamet memang luar biasa, setelah bekerja sebagai pedagang rokok pinggir jalan selama 10 tahun, akhirnya dia berhasil membangun rumah. Slamet membeli tanah di Bojong Gede Depok dan membangunnya sedikit demi sedikit. Setelah selesai, dia pindah dari kontrakan kumuhnya dan meninggali rumah itu.
Rumah itu sangat jauh dari lokasi berjualan. Setiap pagi, Slamet naik kereta api KRL untuk bekerja. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam perjalanan. Namun semua itu tak menyurutkan semangatnya untuk menafkahi istri dan dua anaknya.
Jakarta, 8 September 2013

Tuesday, August 27, 2013

Yang Penting Bisa Makan

WONG CILIK
Di Jakarta, orang Wonogiri terkenal sebagai pejuang yang tangguh. Mungkin karena kawasan itu tandus, kering, hingga kebanyakan orang Wonogiri keluar dari wilayah itu untuk mengadu nasib. Mereka kebanyakan merantau ke Jakarta.
Contohnya Mak Yuk, dia adalah seorang tukang sayur yang mangkal di sebuah perumahan mewah di Jakarta. Sudah 20 tahun dia berjualan di tempat itu. Setiap hari selepas subuh, perempuan itu menggelar dagangannya di ujung komplek, dan disitulah dia menjalani hidupnya sehari-hari.
Setelah menikah Mak Yuk berangkat ke Jakarta bersama suaminya Parjo, waktu itu hanya bermodal sekoper pakaian. Karena sudah banyak tetangga yang merantau di Jakarta, tak sulit bagi dia dan suaminya mencoba peruntungannya di kota metropolitan itu.
"Kerja apa saja nggak masalah yang penting bisa makan," katanya padaku.
"Bener, Yuk, emang sebelumnya kerja apaan?"
"Buruh nyuci Mbak, suami nguli, terus setelah modal terkumpul, jualan gini."
"Wah hebat..."
Dengan menjadi tukang sayur, Mak Yuk bisa menyekolahkan Yuni, anak perempuan satu-satunya. Biar pun hanya sampai SMA. Dan sekarang malah sudah memberinya seorang cucu.
"Setelah lulus SMA, saya suruh jualan mbak, cari kerja susah, eh, nggak lama ada yang melamar, ya udah saya kasih saja," tuturnya.
Sekarang anak perempuannya berjualan jamu keliling wilayah itu. Kadang-kadang menggantikan dia jualan sayuran, kalau dia sakit atau sedang mudik ke Wonogiri. Harus diakui, keluarga tukang sayur itu kompak. Mereka juga terlihat bahagia dan baik.
"Langgananmu sudah banyak, pasti untungnya juga banyak ya Yuk?" godaku.
"Halah, semua barang mahal, sampai bingung ngejualnya, loh kemarin saya kan habis ketipu..."
"Ketipu? Gimana ceritanya?"
"Katanya ngontrak di situ (komplek), tiap hari ngutang sayuran, tahu-tahu mau saya tagih katanya sudah pindah..."
"Masya Allah, Yuk, sabar ya? Berapa banyak dia ngutang?"
"Sejuta setengahlah, orang belanja sebulan..."
"Ih, teganya..."
"Ya udahlah, bukan rejeki saya Mbak..."
"Betul dikhlasin aja, ntar diganti lebih banyak," kataku.
"Amin..."
Dari berdagang sayuran, Mak Yuk sudah membangun rumah di Wonogiri. Selama di Jakarta, dia hanya mengontrak dengan sesama perantau dari kota yang sama. Katanya suatu saat akan menghabiskan masa tuanya di sana, dan ingin mati di kota kelahirannya itu. Hadeh, hahaha...
Jakarta, 28 Agustus 2013

Saturday, August 24, 2013

Honor Bu Guru

WONG CILIK
Menjadi guru adalah impian Rufaidah sejak kecil. Dan jalan menuju cita-cita itu terhitung mulus. Meskipun dia tahu bahwa ayahnya yang hanya polisi pangkat rendahan itu megap-megap membiayai dia dan 8 saudaranya untuk bersekolah. Singkat cerita, jadilah Rufaidah seorang guru di kotanya.
Perempuan itu begitu antusias saat pagi menjelang. Dengan seragam abu-abu rapi, dan kerudung dengan warna yang sama berangkatlah dia ke sekolah. Perempuan muda itu menempuh setengah jam perjalanan ke sekolah. Dengan berjalan kaki, dia menuju sekolah swasta Islam itu.
Sudah setahun Ruf, mengajar di situ. Secara ekonomi tidak ada perkembangan, tetap saja tak punya apa-apa. Bahkan untuk membeli sepeda saja, dia tak mampu. Itu karena gajinya yang terlalu kecil. Setiap bulan, Ruf hanya digaji 125 ribu rupiah. Bekerja sebagai guru lebih mirip kerja bakti saja.
"Suatu saat saya ingin diangkat jadi peagawai negeri," katanya padaku.
"Amiin," jawabku.
Namun waktu terus berjalan. Beberapa kali ikut tes penerimaan pegawai negeri, Rufaidah tak diterima. Konon banyak yang menggunakan cara kurang baik untuk bisa diterima, yaitu dengan menyuap, sekian juta.
"Saya mau menyuap pakai apa? Lagian saya nggak mau, Mbak..."
Sampai menikah Rufaidah tak juga diterima menjadi pegawai negeri. Dia masih mengajar di tempat yang lama. Dengan gaji kecil, dan kehidupan yang tetap sederhana. Tetap berjalan kaki dan mencintai pekerjaannya.
"Yang penting masih tetap bisa mengajar," katanya.
Untuk menambah ekonomi keluarga, perempuan itu membuat rempeyek. Dan suaminya Gofur berkeliling untuk menjualnya. Subhanallah, rempeyek kacangnya mulai menopang ekonomi keluarga. Gofur yang dulunya pengangguran, mulai mempekerjakan beberapa tetangga untuk memperbanyak produksi makanan ringan itu.
Setiap pagi, Rufaidah berbaju rapi berangkat sekolah. Masih dengan jalan kaki. Tangannya menenteng kantong plastik besar, itu adalah rempeyek, yang biasanya dipesan oleh para guru lainnya. Dia tetap menjadi guru honorer, jasanya dibayar dengan uang penjualan rempeyek.
Tuhan Maha Memahami, Maha Pembagi Rejeki.
Jakarta, 25 Agustus 2013

Rejeki Abang Becak

WONG CILIK
Perempuan itu masih muda, kira-kira usianya 30 tahun, tetapi wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Kulitnya hitam tak terawat, penampilannya serampangan, namun dibalik semua kesederhanaan itu, dia ramah terhadap siapapun. Panggil saja perempuan itu Wasingah.
Waktu itu saya masih tinggal di Surabaya. Setiap sore perempuan itu naik sepeda berkeliling komplek, dengan memboncengkan dua anaknya yang masih balita, yang besar sekitar lima tahun dan adiknya kira-kira berusia dua tahun. Perempuan itu mengayuh sepeda dengan pelan, sembari bersenda atau bernyanyi bersama anak-anaknya.
Sesekali aku menyapanya, dia pun turun dari sepedanya. Dan mulai bercerita tentang kehidupannya.
"Saya tinggal di rumah kosong itu, Mbak," katanya padaku.
"Oh, emang itu rumah siapa?"
"Pemiliknya di Jakarta, kami yang nungguin rumah, tak perlu membayar sewa," katanya.
Wasingah menikah dengan seorang tukang becak, bernama Pak Kromo. Pak Kromo sudah tua. Usianya mungkin dua kali usia Wasingah. Pak Kromo dikenal sebagai tukang becak yang baik, biar pun sudah tua tenaganya masih kuat mengayuh becaknya.
Aku pernah bertanya pada Wasingah, kenapa dia selalu berputar-putar naik sepeda bersama anak-anaknya? Dan aku sendiri heran, tak ada perasaan sedih tergambar di wajah perempuan itu. Seakan hidup hanya menjalani saja dan dibuatnya menjadi kebahagiaan dengan cara yang sederhana.
"Anak-anak suka diboncengin sepeda, sehari tak cukup tiga atau lima kali putaran, Mbak..."
"Oh, kebahagiaan anak-anak memang sederhana," jawabku waktu itu.
"Iya Mbak, sama suami, kadang kami diajak berkeliling kota sekedar menghirup udara sore," ceritanya lagi.
"Hahaha, pasti asyik," kataku.
"Tetapi sekarang sudah jarang," tambahnya.
"Loh, kenapa?" tanyaku ingin tahu.
"Suami banyak jemputan. Terutama langganan antar jemput sekolah. Ada dua puluh anak yang bergilir diantar setiap harinya, tergantung jam sekolahnya..."
"Wah banyak betul, bagaimana mengaturnya?"
"Kan ada yang masuk pagi dan ada yang masuk siang..."
"Oh gitu ya, bagus itu."
"Iya, Alhamdulillah, Mbak, kami sekeluarga tak pernah kekurangan."
Pak Kromo sangat dipercaya oleh para orang tua untuk menjadi tukang jemputan sekolah. Untuk anak-anak yang masih dibawah sepuluh tahun, becak itu muat empat anak. Dua diantaranya duduk di papan yang ditaruh diantara sandaran tangan. Karena seharian mengantar anak-anak sekolah, Pak Kromo tak perlu mangkal seperti tukang becak lainnya.
Sebagian anak-anak juga memilih diantar sekolah oleh Pak Kromo dibandingkan dengan tukang becak lainnya. Konon, Pak Kromo sabar menghadapi anak-anak dan suka bercerita tentang cerita-cerita lama.
Aku melihat kebahagiaan dalam kesederhanaan, senang rasanya melihat keluarga itu begitu damai dan indah, biarpun hidup dalam kesederhanaan. Allah mencukupi mereka dengan rejeki dan disambut dengan indahnya syukur mereka.
Jakarta, 24 Agustus 2013

Thursday, August 22, 2013

Karena Aku Buta

WONG CILIK
Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang cantik, aku memiliki tiga orang saudara. Dua saudara perempuan, satu laki-laki. Dan kami semua tinggal di rumah nenek yang kecil dan pengap. Nenekku adalah seorang nenek yang baik dan ramah, dia juga cantik sama seperti ibuku dan dua kakak perempuanku.
Panggil saja aku Teratai, usiaku 25 tahun, aku tidak pernah sekolah, tidak bisa baca tulis. Kata orang aku cantik, sayang sekali aku buta. Aku tak bisa melihat alam semesta ini sejak aku lahir.
Neneklah yang merawat ketika aku masih kecil. Ibu sangat tak peduli padaku. Dia bahkan membenciku. Ketika tahu aku buta, dia berniat membuangku, kabarnya akan diberikan kepada orang lain. Tetapi nenek melarang hal itu, lalu aku pun dirawat perempuan tua itu hingga aku dewasa sekarang.
Rumah kami tidak besar, hanya memiliki 2 kamar dan berdinding kayu. Rumah itu berdempetan dengan rumah tetangga, dan rumah keluarga kami dikenal sebagai rumah bordil liar. Tak heran bila sering ada truk berhenti di depan rumah, mereka adalah pelanggan ibuku, nenekku, atau dua kakak perempuanku.
Awalnya nenekku adalah seorang pelacur kampung. Nenek berkebaya dan memakai kain untuk busana sehari-hari. Lalu lahirlah ibuku. Tidak pernah ketahuan dengan jelas siapa ayahnya. Dia adalah perempuan yang cantik, berambut hitam legam, ikal dan kulitnya sawo matang.
Ketika usia remaja Ibu mulai disukai laki-laki. Para tamu nenek, mulai melirik Ibu yang lebih muda dan cantik. Nenek pun tak melarang setiap laki-laki yang tertarik kepada ibuku dan ingin tidur dengannya. Jadilah dia pelacur di usia yang sangat muda. Dan dari profesinya itu, kemudian dia mengenal ayah kakak-kakakku. Ibuku dan ayah tiriku pun menikah dan memiliki tiga orang anak yang sehat-sehat, sebut saja Sri, Neni dan Raka.
Namun mereka bercerai saat anak-anak mereka kecil. Karena tuntutan ekonomi, Ibu pun kembali menekuni profesinya sebagai pelacur. Dia harus membesarkan tiga anak sendirian, sebab mantan suaminya yang sopir truk itu kembali kepada istri pertamanya.
Waktu terus bergulir, selesai SMA, kakakku Sri menikah dengan seorang pelaut. Demikian juga Kak Neni, dia menikah dengan seorang laki-laki kampung yang pengangguran. Mereka dikaruniai masing-masing seorang anak yang lucu. Dan sudah bisa diduga, pernikahan mereka berdua tidak langgeng. Kedua kakakku yang cantik itu kemudian menjadi janda. Padahal usia mereka belum 25 tahun.
Janda, tak memiliki apa-apa, berpendidikan rendah, dan memiliki anak membuat kebutuhan ekonomi naik. Mereka juga tak punya keahlian apa-apa, dan di rumah kami yang kecil dan mesum itu, uang dan laki-laki datang silih berganti. Kedua kakakku pun kemudian ikut menjual diri.
Lalu siapakah aku, siapakah perempuan buta ini? Berbeda dengan 3 kakakku, aku tidak punya ayah biologis yang pasti. Saat melahirkanku, status ibuku janda. Kehamilan itu menyusahkan ibuku. Lalu dia pun berusaha menggugurkanku dari rahimnya. Tidak berhasil. Kata orang, obat-obatan pengguguran kandungan yang diminum ibuku kena mataku, jadi aku pun lahir buta.
Di rumah itu, setiap ada lelaki datang, nenek, ibu dan dua kakak perempuanku ramai menyambutnya. Tamu tinggal memilih salah satu dari keempatnya. Hanya aku yang tak pernah dilirik oleh mereka, karena aku buta. Dan kakak lelakiku Raka, juga kabur dari rumah karena jijik melihat perilaku mesum para pelacur tiga generasi itu. Dan kata Kak Raka, aku harus bersyukur karena aku buta.
"Tuhan melindungimu dari para lelaki hidung belang, Dik," begitu katanya.
Jakarta, 23 Agustus 2013

Saturday, July 20, 2013

Masa Kecil Kurang Bahagia

WONG CILIK
Candaan masa kecil kurang bahagia, ternyata bukan hanya bualan. Biasanya candaan atau guyonan ini dilontarkan kepada seorang yang sudah dewasa, tetapi perilakunya masih seperti anak kecil. Misalnya ada seorang perempuan dewasa tetapi dia begitu senang bermain ayunan di taman, sampai-sampai tak mau gantian dengan yang lain. Pengunjung taman akan mengatakan kepadanya:
"Wow. masa kecil kurang bahagia ya..."
Begitupun dengan cerita berikut ini. Kisah yang kuambil dari pengalaman seorang sahabat. Sahabatku itu seorang pengusaha swasta yang mengelola bisnisnya di rumah. Gino, panggil saja begitu, memiliki beberapa orang karyawan. Karena perusahaan percetakan, kebanyakan karyawan adalah remaja laki-laki yang baru lulus SMA. Gino mencari karyawan yang tinggal di sekitar rumahnya.
Salah satu karyawan barunya adalah Roy. Roy sudah beberapa bulan menyelesaikan SMU-nya, dan belum juga bekerja. Dia memang tak mampu meneruskan sekolah ke universitas, makanya dia memutuskan untuk cari pekerjaan. Dari sekian tawaran, Roy merasa paling cocok bekerja dengan Gino, karena dia suka otak-atik grafis di komputer.
Dengan senang hati, Gino menerima ABG itu bekerja di tempatnya. Selain baik, rajin sholat, Roy juga selalu bersemangat dalam bekerja. Salah satu alasan Gino menerima anak itu, karena dia juga seorang anak yatim. Ayahnya sudah meninggal dan Roy tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci, penghasilannya tidak menentu.
Gajian pertama pun diterima pada bulan berikutnya. Hari itu, Gino memberikan gaji kepada Roy juga karyawan yang lain. Roy sangat senang luar biasa menerima hasil jerih payahnya itu. Saat istirahat makan siang, Roy keluar dari kantor, katanya mau ke pasar. Kebetulan posisi pasar tak jauh dari kantor itu.
Sepulang dari pasar, Gino melihat Roy membawa kantong plastik yang sangat besar. Wajahnya berbinar. Sesampai di kantor dia mengeluarkan isi kantongnya. Sebuah bus plastik ukuran besar, sebuah pistol-pistolan, sebuah teropong plastik dan beberapa mainan lagi. Roy menjalankan bus mainan itu di atas meja, Gino pun menghampirinya.
"Wah, beli mainan banyak bener?"
"Iya Pak mumpung ada rejeki..."
"Buat siapa Roy, kamu kan nggak punya adik?"
"Buat aku sendiri Pak, sudah lama ingin punya mainan seperti ini..."
"Oh..."
Rasa haru campur bahagia terbersit di hati Gino. Dan dia kemudian meminta Roy memasukkan mainan-mainan tersebut ke dalam kantong plastik dan kembali bekerja. Remaja 20 tahun itu pun menurut. Dan pengusaha muda itu bisa merasakan kebahagiaan di hati Roy saat itu. Orang di kampung sudah tahu, betapa miskinnya anak muda itu selama ini. Benar-benar masa kecil yang kurang bahagia.
Jakarta, 21 Juli 2013

Sunday, July 14, 2013

Penjual Nasi Bungkus

WONG CILIK
Di sekolah anakku, banyak pedagang tersembunyi. Mereka itu adalah para orang tua (ibu-ibu) yang mengantar dan menjemput anaknya. SDN tersebut tidak memiliki peraturan yang ketat. Maklum sekolah rakyat pemiliknya adalah rakyat.
Well, ini cerita tentang Bu Umi. Di sekolah itu siapa yang tak kenal Bu Umi. Perempuan kurus dengan pakaian seadanya, namun selalu tersenyum manis. Bu Umi sangat ramah dan menyenangkan.
Setiap pagi, Bu Umi mengantar anaknya (kelas 5) ke sekolah dengan sepeda motor. Sambil memboncengkan anaknya di belakang, kanan kiri motor itu ada tas motor penuh dengan dagangan. Bu Umi menjual nasi bungkus.
Nasi bungkus berupa nasi goreng, nasi kuning atau nasi telur. Bungkusan sangat kecil (seperti nasi kucing) pas untuk perut anak-anak. Harganya pun murah 1500 rupiah. Anak-anak SD rata-rata uang saku 5000 rupiah.
Selain nasi, Bu Umi juga menjual mie goreng, bihun goreng, dan lain-lain. Pokoknya makanan yang mengenyangkan. Harganya pun sama, 1500 rupiah, murah meriah tetapi kenyang. Tak heran bila para ibu lebih senang anaknya jajan di tempat Bu Umi daripada jajan makanan kemasan murahan.
Setiap hari, perempuan itu bangun pukul tiga pagi. Lalu mulai memasak dan membungkus nasi itu dibantu suaminya. Kadang-kadang anak perempuannya juga ikut membantu, karena dia harus membungkus lebih dari seratus buah. Belum mie dan bihun goreng yang dibungkus dengan plastik mika.
Di sekolahan, Bu Umi tak memiliki lapak khusus. Dia duduk saja di teras dan nasi-nasi di tata rapi dalam keranjang plastik, dan ditaruh di dekatnya. Semua orang sudah tahu. Karena perempuan itu selalu datang pagi-pagi, banyak anak-anak yang belum sarapan dibelikan nasi di situ oleh ibunya.
Bu Umi, memiliki tiga orang anak. Sementara suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Buruh serabutan. Namun begitu anak-anaknya pintar-pintar. Anak sulungnya, saat ini bersekolah di SMU favorit. Dan selalu mendapatkan ranking. Katanya juga didorong guru-gurunya untuk mendapatkan PMDK.
"Gak tau nih Mbak, kalau dia diterima PMDK, bisa gak ya bayarin kuliahnya..."
Demikian juga anaknya yang bersekolah di SMP. SMP-nya juga SMP favorit. Untuk bisa masuk sekolah itu, harus benar-benar pintar, karena persaingannya sangat ketat.
"Tahun kemarin dapat ranking dua, Mbak..." katanya padaku.
"Hebat ya Bu," jawabku.
"Alhamdulillah, Mbak..."
Penjual nasi bungkus itu melakukan hal terbaik yang bisa dia lalukan. Pekerjaan yang tidak istimewa. Dengan cara itu dia menyekolahkan anak-anaknya dan menghidupi keluarganya. Dan Tuhan menghadiahinya anak-anak yang cerdas. Sungguh Tuhan Maha Adil.
Jakarta, 15 Juli 2013

Wednesday, July 10, 2013

Ratu Kucing

WONG CILIK
Ketika masih tinggal di Surabaya, di belakang rumahku tinggal sepasang suami istri. Mereka sudah renta, hidup sederhana, tetapi sangat disukai para tetangga. Si suami, bekerja sebagai sopir taksi, dan istrinya seorang ibu rumah tangga. Mereka memiliki 5 orang anak, tetapi semua sudah berkeluarga.
Pasangan suami istri ini hidup bersama lebih dari 10 ekor kucing. Kucing-kucing itu dirawat seperti anak mereka sendiri. Binatang piaraan itu, teramat manja kepada suami istri itu. Terutama dengan Bu Rub, si perempuan yang sudah berumur tersebut. Kemana pun perempuan itu pergi, ke tukang sayur, ke warung, ke tetangga, pasti ada seekor atau dua ekor kucing yang mengikutinya.
Cara si perempuan memperlakukan kucing-kucing itu, seperti sudah seperti layaknya pada manusia. Diajaknya bicara, dielusnya dan tak jarang dipangkunya sambil duduk-duduk di lantai. Para binatang jinak itu pun bisa memahami setiap perkataan majikannya.
"Dah sana pulang, melok ae..." kata Bu Rub melihat salah satu kucingnya ngekor di belakangnya.
Kira-kira artinya, sana pulang, Cing, jangan ngikutin aja. Kucing itu pun menjawab dengan cara memeong, meninggalkan si perempuan dan pulang ke rumah. Nurut dengan apa yang dikatakan oleh majikannya.
Begitu juga kalau ada yang berantem. Bu Rub akan turun tangan untuk melerai. Bahkan dia sudah hapal sifat kucing-kucingnya, dia tahu yang mana yang menjadi biang keroknya. Kucing nakal itu akan dimarahinya, dan si kucing pun beringsut ketakutan.
"Itu memang kucing nakal, sukanya mulai duluan, Mbak Anggie..." katanya padaku.
Sebetulnya, kucing sebanyak itu, hanya beberapa ekor yang kucing tetap. Yang lainnya biasanya hanya tinggal sementara. Maksudnya, kucing-kucing itu hanya numpang, karena memang hanya kucing yang nyasar, atau kucing liar yang datang pergi sesuka hati, terutama bila kelaparan.
Di kawasan itu, setiap orang yang "nemu' kucing, biasanya diberikan kepada perempuan itu. Rumahnya sudah mirip tempat penampungan kucing saja. Dan dengan senang hati dia menerima kucing asing yang diberikan kepadanya.
"Siniiii, kasihan, ibumu mana? Kesasar ya?" begitu kata si Ratu Kucing.
Demikian sebaliknya, kalau ada yang kehilangan kucing, mereka akan langsung mencari di rumah Bu Rub. Tak heran kalau setiap sore atau pagi banyak anak-anak yang bermain di rumah Bu Rub. Kucing binatang yang sangat disukai anak-anak. Bayi yang menangis pun dibawa ke rumah itu, dia akan diam setelah melihat kucing-kucing yang lucu.
Jujur saya heran, bagaimana tiap hari Bu Rub menghidupi kucing-kucingnya, sementara dia tergolong kurang mampu. Para tetangga tahu kondisi itu, setiap memliki nasi kemarin, atau ikan yang sudah tak laku, atau kepala ikan yang tak dimakan, pasti diberikan kepada Bu Rub untuk kucing-kucingnya.Begitulah Tuhan mengajari manusia berbagi dan berkasih sayang, lewat kehidupan sederhana seorang Ratu Kucing.
Jakarta, 11 Juli 2013

Saturday, February 16, 2013

Arman Tukang Pijit Tunanetra

WONG CILIK
Di kampungku ada seorang tukang pijit tunanetra bernama Arman. Arman bertubuh subur dengan tangan yang kokoh untuk memijit. Langganannya banyak. Siapapun yang ingin di pijit laki-laki Betawi ini, tinggal menghubungi ojek yang mangkal di depan kompleks, dan bang ojek akan menjemput Arman untuk di atntarkan ke rumah pelanggan.
Arman menikah dan memiliki seorang puteri yang normal. Puterinya sehat dan tumbuh menjadi anak yang periang. Istrinya adalah seorang perempuan Jawa bernama Aminah. Sebelumnya perempuan itu bekerja sebagai tukang sayur keliling. Sekarang, pelanggan lebih mudah, tinggal SMS ke Arman, maka istrinya yang akan mengantarkannya ke pelanggan.
Selain menjadi tukang antar suaminya, Aminah juga berjualan pecel dengan menggunakan sepeda motor. Setiap pagi, Aminah berkeliling sambil berteriak: "Pecel... pecel... pecel..."
Pelanggan pecelnya adalah para tukang yang bekerja di kompleks. Tetapi warga kompleks juga banyak yang suka dengan pecelnya yang berciri khas Jawa. Selain pecel Aminah juga menjual rempeyek buatannya sendiri, atau kerupuk yang hanya bisa diperoleh di Jawa.
Yang mengharukan, seringkali Aminah membawa puterinya Ratih yang sekarang sudah berusia 5 tahun ikut berjualan. Anak itu membonceng di belakang ibunya, diantara dagangan yang disampirkan di jok belakang motor.
Suatu hari aku membeli pecel Aminah. Perempuan itu menghentikan motornya di depan rumahku. Setelah itu menyuruh anaknya turun. Aku masuk ke rumah mengambil jajanan dan kuberikan kepada anaknya.
"Kok anaknya dibawa, Mbak?" tanyaku.
"Nggak ada yang ngemong, neneknya (ibunya Arman) lagi sakit."
"Bang Arman lagi mijit?"
"Enggak sih, ada di rumah, kalau anakku ku tinggal sama dia, kadang dia main jauh nggak ketahuan, maklumlah Bu, suamiku orang kayak gitu..."
Perjuangan hidup yang patut diacungi jempol. Perempuan yang tiada pernah menyerah. Cacat fisik, kemiskinan, tidak membuat mereka berhenti untuk tetap mengais rejeki. Allah Maha Kaya, yang selalu menghidupi hamba-hambaNya.
Jakarta, 17 Februari 2013