Saturday, August 24, 2013

Rejeki Abang Becak

WONG CILIK
Perempuan itu masih muda, kira-kira usianya 30 tahun, tetapi wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Kulitnya hitam tak terawat, penampilannya serampangan, namun dibalik semua kesederhanaan itu, dia ramah terhadap siapapun. Panggil saja perempuan itu Wasingah.
Waktu itu saya masih tinggal di Surabaya. Setiap sore perempuan itu naik sepeda berkeliling komplek, dengan memboncengkan dua anaknya yang masih balita, yang besar sekitar lima tahun dan adiknya kira-kira berusia dua tahun. Perempuan itu mengayuh sepeda dengan pelan, sembari bersenda atau bernyanyi bersama anak-anaknya.
Sesekali aku menyapanya, dia pun turun dari sepedanya. Dan mulai bercerita tentang kehidupannya.
"Saya tinggal di rumah kosong itu, Mbak," katanya padaku.
"Oh, emang itu rumah siapa?"
"Pemiliknya di Jakarta, kami yang nungguin rumah, tak perlu membayar sewa," katanya.
Wasingah menikah dengan seorang tukang becak, bernama Pak Kromo. Pak Kromo sudah tua. Usianya mungkin dua kali usia Wasingah. Pak Kromo dikenal sebagai tukang becak yang baik, biar pun sudah tua tenaganya masih kuat mengayuh becaknya.
Aku pernah bertanya pada Wasingah, kenapa dia selalu berputar-putar naik sepeda bersama anak-anaknya? Dan aku sendiri heran, tak ada perasaan sedih tergambar di wajah perempuan itu. Seakan hidup hanya menjalani saja dan dibuatnya menjadi kebahagiaan dengan cara yang sederhana.
"Anak-anak suka diboncengin sepeda, sehari tak cukup tiga atau lima kali putaran, Mbak..."
"Oh, kebahagiaan anak-anak memang sederhana," jawabku waktu itu.
"Iya Mbak, sama suami, kadang kami diajak berkeliling kota sekedar menghirup udara sore," ceritanya lagi.
"Hahaha, pasti asyik," kataku.
"Tetapi sekarang sudah jarang," tambahnya.
"Loh, kenapa?" tanyaku ingin tahu.
"Suami banyak jemputan. Terutama langganan antar jemput sekolah. Ada dua puluh anak yang bergilir diantar setiap harinya, tergantung jam sekolahnya..."
"Wah banyak betul, bagaimana mengaturnya?"
"Kan ada yang masuk pagi dan ada yang masuk siang..."
"Oh gitu ya, bagus itu."
"Iya, Alhamdulillah, Mbak, kami sekeluarga tak pernah kekurangan."
Pak Kromo sangat dipercaya oleh para orang tua untuk menjadi tukang jemputan sekolah. Untuk anak-anak yang masih dibawah sepuluh tahun, becak itu muat empat anak. Dua diantaranya duduk di papan yang ditaruh diantara sandaran tangan. Karena seharian mengantar anak-anak sekolah, Pak Kromo tak perlu mangkal seperti tukang becak lainnya.
Sebagian anak-anak juga memilih diantar sekolah oleh Pak Kromo dibandingkan dengan tukang becak lainnya. Konon, Pak Kromo sabar menghadapi anak-anak dan suka bercerita tentang cerita-cerita lama.
Aku melihat kebahagiaan dalam kesederhanaan, senang rasanya melihat keluarga itu begitu damai dan indah, biarpun hidup dalam kesederhanaan. Allah mencukupi mereka dengan rejeki dan disambut dengan indahnya syukur mereka.
Jakarta, 24 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment