Thursday, January 10, 2013

Kemuliaan Wanita Mukminah Ada Dirumahnya

Wahai Ukhti Muslimah…Wahai wanita yang mengalir keimanan di dalam hatinya…Wahai wanita yang mencintai Allah dan Rasul-Nya…

 

Engkau yang telah ruku’ dan sujud, mengharap dan berdo’a kepada Allah yang Maha Suci lagi Maha Agung.

 

Engkau adalah seorang yang mempunyai peran besar dalam kehidupan laki-laki, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan maupun anak.

 

Wahai permata yang terjaga…Berlapanglah dengan sebuah pertanyaan ini…Tidakkah kalian menginginkan untuk menjadi wanita yang terpilih oleh Allah karena kebaikan…?! Tidakkah kalian ingin mendapatkan keutamaan yang Allah berikan…?!

 

 

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

 

Oleh karena itu saya berpesan kepada kalian sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan:  “Orang mukmin yang laki-laki dan orang mukmin yang perempuan sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian (yang lain) mereka menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah: 71)

 

Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:  “Nasihatilah wanita dengan kebaikan.” (Muttafaqun ‘alaihi)[1]

 

Sungguh Allah Ta’ala senantiasa melihat dan mendengarmu…Sungguh Allah Ta’ala pasti mengawasi dan memperhatikanmu…

 

Maka hendaklah engkau takut kepada Allah Ta’ala, hindarilah jalanan dan tempat terbuka, karena sungguh jika engkau berada dalam tempat yang terbuka sedang kaum laki-laki melihatmu, haruslah engkau merasa takut dan khawatir terfitnah dan menjadi penyebab fitnah.[2]

 

Tidakkah engkau perhatikan perkataan sang teladan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:   “Tidaklah aku tinggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya atas laki-laki melebihi  fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa’i)[3]

 

Sungguh berbahaya wahai Saudariku Muslimah jika engkau berada di tempat terbuka, karena perbuatan itu dapat menjadi perantara bagimu dan lawan jenismu untuk mendustakan perintah Allah yang Maha Suci lagi Maha Agung yang berfirman:  “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)

 

“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…,”

 

Tidak hanya sampai di situ, bagi wanita, Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya:  “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya…” (An-Nur: 31)

 

Tidakkah engkau lihat wahai Ukhti Muslimah, sesungguhnya wanita itu adalah aurat yang bisa menjadi alat dan perantara setan untuk menjerumuskan kebanyakan kaum laki-laki.

“Wanita itu adalah aurat. Bila ia keluar, setan akan menghiasinya (untuk menggoda laki-laki)[4].” (HR. At-Tirmidzi)[5]

 

Tidakkah engkau perhatikan wahai Saudariku Mukminah, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di atas merupakan peringatan bagi kita terhadap fitnahnya wanita…

 

Tidakkah engkau meninggalkan semua sebab dan wasilah yang membangkitkan gejolak syahwat, seperti ikhtilath (bercampur/ bergaul) dengan yang berlainan jenis, memandang ke tempat-tempat fitnah yang ada pada tubuh lawan jenis yang bukan mahram, dan perbuatan lain semisalnya…!

 

Demi untuk menghindari ikhtilat, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan kaum wanita agar tidak berjalan di tengah jalan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari di dalam Al-Kuna dan Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya, dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya radhiyallahu’anhu:  “Bahwa dia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan dipinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Abu Daud)

 

Dan bukankah kita tidak ingin disimpangkan oleh Allah Ta’ala sebagai orang yang memiliki mata yang khianat dan hati yang berpenyakit..!   “Maka ketika mereka menyimpang, maka Allah pun menyimpangkan hati mereka.” (Ash-Shaff: 5)

 

“Dia (Allah) mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disempbunyikan di dalam dada.” (Al-Mukmin: 19)

 

Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:  “Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah melangkah.” (Mutafaq ‘alaih)[6]

 

Tidakkah engkau ingin mendengar kesungguhan dan keikhlasan wanita muslimah yang istiqamah melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang ia cintai, yaitu ketika Ummu Humaid istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhuma mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersamamu.”  Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:  “Aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, tetapi shalatmu di dalam rumahmu (yang paling dalam) lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu. Dan shalatmu di dalam kamarmu, lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah), dan shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah), lebih baik daripada shalatmu di masjid kaum-mu. Dan shalatmu di masjid kaum-mu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”  Perawi berkata: “Maka Ummu Humaid memerintahkan (membangun tempat shalat-pen), lalu dibangunlah masjid (yakni tempat untuk shalat) untuknya di ujung rumah di antara rumah-rumahnya, dan yang paling gelap, demi Allah, dia biasa shalat di sana sampai meninggal.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan Ibnu Abdil Barr)[7]

 

Tidaklah Ummu Humaid radhiyallahu’anha melakukannya melainkan karena mengharapkan kecintaan Allah Ta’ala kepadanya, sebagaimana hal ini telah disabdakan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:  “Sesungguhnya shalat wanita yang paling dicintai oleh Allah adalah (yang dilakukan) ditempat paling gelap di dalam rumahnya”. (HR. Ibnu Khuzaimah)[8]

 

Wahai Ukhti Muslimah perhatikan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ini, dimana beliau mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:  “Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya yang paling depan.” (HR. Muslim,An-Nasa’i, Abu Daud dan At-Tirmidzi)[9]

 

Wahai Ukhti Mukminah tidakkah engkau lihat.., perkara di atas berada dalam tempat shalat, bagaimana jika hal ini terjadi di jalanan, di kampus, di pasar, atau pun tempat umum lainnya…?!

 

Al-Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radhiyallahu’anha:  “Seandainya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sempat menemui apa yang diada-adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari dan Muslim)[10]

 

Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah disebutkan:

“Salah seorang rawi bertanya kepada Amrah binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini darinya): “Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke Masjid?” Amrah menjawab: “Ya, Adapun hal-hal baru yang diada-adakan oleh wanita Bani Israil, diantaranya memakai wangi-wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath dan kerusakan-kerusakan lainnya.”

 

Oleh karena itu wahai Ukhti Muslimah, bersungguh-sungguhlah untuk menghindari tempat terbuka, carilah tempat yang aman dan lebih utama, karena yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Hal ini telah dicontohkan kepada kalian oleh istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan istri-istri para sahabat yang mulia, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:   “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)

 

Meskipun ayat yang mulia ini berkenaan dengan isteri-isteri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, namun ayat ini memberi pelajaran secara umum, baik bagi istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam maupun wanita-wanita lain, berdasarkan pendapat paling shahih diantara pendapat para ulama. Ayat ini dengan tegas menunjukkan diwajibkannya wanita berhijab dari pandangan laki-laki, untuk itu bagaimana pula kiranya jika kaum wanita berada di tempat terbuka yang tidak memiliki tabir/hijab pembatas?!

 

Perhatikanlah wahai Saudariku Mukminah, bahwa wajah adalah pusat perpaduan kecantikan wanita, maka bertaqwalah kepada Allah.

Dari Aisyah binti Abu Bakar radhiyallahu’anhuma, bahwa ia berkata:  “Adalah para pengendara melewati kami sedangkan kami bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sedang berihram. Maka jika mereka lewat di samping kami, maka salah satu di antara kami melabuhkan jilbabnya dari kepalanya agar menutupi wajahnya. Dan tatkala mereka telah berlalu, kami pun membukanya kembali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnul Jarud dan Al-Baihaqi)[11]

 

Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu’anhuma, bahwa ia berkata:  “Kami (para sahabat wanita) menutupi wajah-wajah kami dari kaum laki-laki.” (HR. Al-Hakim dan Malik)[12]

Dari Ashim Al-Ahwal rahimahullah, bahwa ia berkata:

“Kami mengunjungi (untuk belajar) kepada Hafshah binti Sirin rahimahallah sedangkan ia menjadikan jilbabnya untuk bercadar, lalu aku katakan kepadanya: ‘Semoga Allah merahmatimu! Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan….” Ashim berkata: ‘Lalu ia (Hafshah binti Sirin) mengatakan kepada kami: “Apa lanjutan ayat tersebut?” Kami menjawab: “…dan berlaku iffah (menjaga kesucian diri) itu lebih baik bagi mereka.” (An-Nuur: 60).

 

Ia (Hafshah binti Sirin) kemudian berkata: “Lanjutan ayat itu adalah penetapan syari’at hijab (bagi wanita tua seperti aku)”. (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi)[13]

Alhamdulillah, semoga nasihat ini dapat menjadi kebaikan untuk kalian wahai Saudariku Muslimah…   “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, (dengan) sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

 

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan.

Mata yang penuh ridha akan terpejam dari segala aib yang ia lihat

Sedangkan mata yang penuh kebencian yang ia lihat hanyalah keburukan.

Mereka melihat dengan mata permusuhan, Kalau saja mereka melihat dengan mata keridhoan, tentu mereka akan menganggap baik apa yang tadinya mereka anggap buruk.

Segala malapetaka yang terjadi, berhulu dari sebuah pandangan mata,

Seluruh azab di Neraka, berawal dari urusan kecil yang tidak terduga.

   

“Ya Allah, ampunilah semua dosaku, dosa yang kecil dan yang besar, yang pertama maupun yang terakhir dan yang nampak maupun yang samar.” (HR. Muslim)[14]

 

wedhakencana.blogspot.com


Penulis: Al-Akh Abu Abdillah Fikri hafizhahullah

Editor: Admin http://nasihatonline.wordpress.com/

 

Catatan Kaki:

[1] HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu.

[2] Fitnah wanita maksudnya adalah godaan dan cobaan yang ditimbulkan oleh wanita, khususnya terhadap laki-laki (ed).

[3] HR. Bukhari 5096, Muslim 2740, At-Tirmidzi 2780, dan beliau berkata: “Hadits hasan shahih.” Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah 3998 dan Al-Imam Al-Mizzi juga menisbahkannya kepada An-Nasa’i.

[4] Al-Imam Abul ‘Ala’ Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata:

“Bila wanita keluar, setan akan menghiasinya (untuk menggoda laki-laki), maknanya adalah setan menghiasinya di mata laki-laki. Juga dikatakan, maknanya, setan melihat wanita tersebut untuk menyesatkannya dan menyesatkan (manusia) dengannya. Dan makna asal (الاستشراف) adalah mengangkat pandangan untuk melihat sesuatu.” [Tuhfatul Ahwadzi, 4/283] (ed).

[5] HR. At-Tirmidzi 1173, Al-Imam As-Suyuti rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya Ad-Durrul Mantsur 6/600 bahwa hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, dan Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih.” Lihat Misykatul Mashabih dengan tahqiq beliau no. 3109.

[6] HR. Al-Bukhari dan Muslim, lafaz ini menurut Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

[7] HR. Ibnu Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti’ab, dan hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam komentarnya terhadap Al-Muhalla.

[8] HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu.

[9] HR. Muslim no. 440, An-Nasa’i 2/93, Abu Daud no. 678, At-Tirmidzi no. 224, dan ia berkata: “Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini no. 1000.

 

Faidah: Berkata Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim: “Adapun shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah yang terakhir. Adapun shaf wanita maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf-shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah tidak bersama kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir. Yang dimaksud dengan ‘jeleknya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar’i. Sedangkan shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi jamaah wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki keutamaan karena jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath) dengan pria, dari melihat pria dan tergantungnya hati tatkala melihat gerakan kaum pria serta mendengar ucapan (pembicaraan mereka) dan semisalnya. Dan celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir bersama pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a’lam.”

[10] HR. Al-Bukhari no. 869 dan Muslim no. 445.

[11] HR. Ahmad IV/30, Abu Dawud dan Ibnul Jarud no. 418, serta Al-Baihaqi dengan sanad hasan lihat Al-Irwa’ 1023 dan 1024

[12] HR. Al-Hakim I/454 dan ia mengatakan: “Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhani.” Hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi dengan syarat Muslim saja, dan hadits ini diriwayatkan juga oleh Malik I/305 dari Fathimah binti Al-Mundzir.

[13] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi, VII/93 dan isnadnya dikatakan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat kitab Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fil Kitabi Was Sunnah.

[14] HR. Muslim no. 483



No comments:

Post a Comment