Monday, January 14, 2013

Tak Ada Cinta, Hanya Seks (TIga)

FIRST LOVE
Well, biar aku ceritakan sekalian hidupku yang berlumuran dosa ini. Pasti pembaca bertanya, apakah aku ini tidak mengenal agama, sehingga menjalani kehidupan penuh dengan perzinahan.
Papaku seorang Madura, dan Mamaku orang Jakarta. Mereka bertemu di Jakarta dan menikah. Kedua orang tuaku juga sholat. Aku memiliki dua orang kakak perempuan yang cantik, dan aku sendiri seorang anak bungsu yang memiliki kelebihan dalam segi fisik dan kecerdasan.
Boleh dibilang aku lebih dekat dengan budeku (kakaknya Mama) daripada dengan Mamaku. Karena sejak kecil sering dititipkan pada Bude yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga. Sedangkan Mamaku waktunya lebih banyak di luar rumah daripada di rumah.
Kalau mau jujur, aku tak terlalu mengenal Mamaku, aku tak memusuhinya, aku juga tak membencinya, tetapi aku seringkali merasa asing dengannya. Sedangkan Papaku, nyaris tak peduli dengan kami bertiga anak-anaknya, mungkin karena pekerjaannya sangat menyita waktu. Boleh dibilang anak-anaknya hidup sendiri-sendiri.
Kebutuhan materiku, nyaris selalu terpenuhi dan aku memiliki segalanya. Saat SMA pun aku sudah memiliki motor besar dambaan setiap remaja. Ketika kuliah, aku sudah memiliki mobil sport. Karena itu aku tak pernah kesulitan mencari pacar atau sekedar teman kencan. Oh ya, aku nggak pernah membeli lho ya, aku memacari dan tidur bersama para perempuan itu,
Tentu saja aku pandai merayu. Aku mengumbar hadiah buat mereka, aku betul-betul menyayangi mereka, karena mereka mau memberiku seks. Mengajak mereka berbelanja ke mall, nonton di bioskop mahal bahkan kadang aku ajak ke luar kota, terutama Bandung.
Aku melakukan hubungan seks bisa dimana saja, tetapi lebih sering kulakukan di rumah. Rumahku sering kosong karena Mama dan Papa sering tak di rumah. Setelah punya rumah sendiri, aku suka melakukannya di rumahku. Aku menyuap pembantuku agar tutup mulut soal perilakuku.
Aku menyukai perempuan yang manis dan lembut. Aku tidak suka perempuan yang tomboi atau yang bicaranya kasar. Kalau perempuan itu tidak berminat ngeseks denganku, aku tak membencinya, juga tidak memaksanya, aku tetap menjaga persahabatan dengannya. Aku menghargai pandangan hidupnya dan aku kadang-kadang tetap memberinya hadiah. Aku hanya mau berhubungan seks dengan perasaan suka sama suka, di kedua belah pihak saja.
Apalagi setelah aku bekerja dan tinggal di rumahku sendiri, aku lebih merasa bebas melakukan hubungan seks. Patner seksku lebih dewasa, karena biasanya mereka perempuan yang sudah bekerja. Aku tidak mau ngesek dengan perempuan yang sudah bersuami, karena resikonya terlalu besar. Aku tidak mau terganggu kesenanganku dengan ketahuan suaminya.
"Apakah dari sekian perempuan itu ada yang hamil?"
"Hahaha... pertanyaan yang bagus..."
Tidak ada karena aku selalu menggunakan pengaman. Kakak Miranda yang mengajariku memakai kondom. Bahkan dia yang pertama kali mengajariku memakai kondom. Itu lebih aman dari kehamilan dan juga aman untuk kesehatanku. Aku membeli kondom di supermarket secara acak, untuk rasa aman.
Jujur saja, aku sering dikejar-kejar dosa dan rasa bersalah. Terutama pada para perempuan yang tidak terima karena hubungan seks hanya untuk bersenang-senang. Ada juga yang minta aku nikahi, tetapi aku tidak mau, karena aku tidak merasa mencintainya.
Setelah ada salah satu perempuan yang ke rumah dan mengadu kepada Papa dan Mamaku, aku lebih hati-hati dalam memilih patner. Terutama mereka yang menuntut lebih dari sekedar just fun. Aku bersenang-senang, tetapi aku juga masih punya perasaan dan rasio. Itulah sebabnya aku bisa bertahan cukup lama dengan Tyfani, karena kami benar-benar melakukan seks hanya untuk hepi-hepi saja.
(Tamat)
Seperti diceritakan oleh Simon.

No comments:

Post a Comment