Wednesday, September 12, 2012

Tentang Adelia

CERPEN
PING!!!
PING!!!
PING!!!
Buru-buru Adel membuka Blackberrynya. Sapa nih, pang ping pang ping melulu, pikirnya. Dibukanya BLackberry Massenger yang bertanda bintang merah itu. Berharap ada bintang jatuh.
M4D4:
Ada apa, kenapa status BB loe kayak gitu?
ADELiA:
Kenapa elo tiba-tiba sewot begini, Da...
M4D4:
Status loe
Adel membaca statusnya di BB putih itu: "Qu ingin berjalan di tengah hujan, jadi nggak ada yang melihat Qu menangis..."
PING!!!
ADELiA:
Apa sih?
M4D4:
Kenapa elo menangis dalam hujan?
ADELiA:
Apa urusan elo sama status gue, suka-suka gue dong!!!
M4D4:
Elo baik-baik saja Adel?
ADELiA:
Tidak gue tidak baik-baik saja, Da, gue drop....
M4D4:
Bisa ditebak!!! Oke, temui gue jam makan siang, SEvEL, sektor IX jangan tidak...
ADELiA:
Ok!!!
Siang membakar hari. Jakarta kering kerontang. Sudah hampir 2 bulan tidak hujan. Debu-debu berlarian di jalanan. Dan orang-orang berpeluh dalam perjalanan masing-masing. Gadis cantik itu, melarikam sedan jazz-nya perlahan. Menahan air mata agar tak meluncur di pipi, malu kalau sampai terlihat orang.
Mada sudah duduk di teras luar Sevel. Adel memarkir dan sekilas tersenyum kepadanya. Cowok itu mantan pacarnya. Tetapi sekarang sudah menjadi sahabat. Adel memilih begitu karena memang tidak ada rasa apapun di hati terhadapnya. Tetapi rasa sayang menggerakkannya untuk tetap menjalin hubungan persahabatan. Dan Adel selalu meminta Mada untuk mengimbangi niat baiknya, tidak ada cinta.
"Kamu terlihat cantik," kata cowok tampan itu sambil memandang Adel.
"Makasih, Da..."
Adel duduk di hadapannya. Memandangi Mada yang sudah memilih makan siangnya. Setangkup burger dengan keju melintas di lapisannya. Mada terlalu lama tinggal di Amerika, jadi menyukai makanan begituan.
"Pengen makan apa, Adel?"
"Gue nggak nafsu makan, Da," katanya.
"Jangan sampai perutmu kosong, tadi pagi sudah sarapan?" Adel menggeleng. Lalu Mada berdiri.
"Gue ambilkan lasagna ya?"
"Nggak usah, kopi aja..."
"Kasihan lambung lu, nanti sakit, baik lasagna sama kopi, deal, gue memaksa," kata Mada.
Adel mengangguk.
"Gimana penjualan kaset loe?"
"Lumayan, minggu depan tour tiga kota," kata Adel.
"Lalu apa yang elu sedihkan? Manager elu?" Adel menggeleng.
"Kurasa gue tahu, pasti laki-laki brengsek itu, ini soal Nikholas kan?"
Adel terisak. Entah mengapa air mata tak bisa dibendungnya.
"Kenapa dia?"
"Dia meninggalkan gue begitu saja, tanpa pamit," kata Adel.
"Ada perempuan lain?"
Adel menggeleng.
"Gue enggak tahu, mungkin iya, gue tidak tahu pasti, Da," ujar Adel.
"Gue pikir, kalian baik-baik saja, ada masalah apa sih?"
"Apa gue belum cerita, Nikholas itu cemburuan, terutama sama fans-fans gue. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama mereka, gue harus memperlakukan mereka dengan baik," kata Adel.
"Iya sih," kata Mada.
"Gue benar-benar terpukul, dia sangat berarti buat gue, dia motivasi gue, gue hancur tanpanya," ujar Adel.
"Sabar, Del," kata Mada.
"Apakah artinya semuanya ini tanpa Nikho di sisi gue, semua keramahan itu hanyalah bagian dari profesionalitas, gue setia, dan gue tak pernah mendua, kenapa dia tak juga mengerti profesi gue sebagai menyanyi," ujar Adel. Mada diam.
"Rasanya seperti mati," kata Adel.
"Telepon dia, Del!"
"Percuma, Gue takut," kata Adel.
"Coba dulu," ujar Mada.
"Enggak, dia sudah menolak gue..."
"Telepon sekarang, ayo, gue memaksa," kata Mada.
Adel mengontak salah satu nomor telepon yang tercatat di Blacberrynya. Tetapi tidak diangkat. Telepon itu berfungsi, masih berfungsi tetapi tidak diangkat.
"Tidak diangkat," kata Adel.
"Lagi! Jangan menyerah!"
Adel mengontak lagi. Tidak diangkat. Dia menggeleng. Sampai akhirnya pada panggilan entah ke berapa Nikholas mengangkat teleponnya.
"Ada apa?" katanya.
"Elu dimana?"
"Tidak penting di mana gue berada, iya kan, urusi saja itu fans-fans elu, teman-teman elu, mereka lebih penting kan?"
"Tidak Nikho, elu-lah yang terpenting dalan hidup gue..."
"Urusi saja karir elu, gue lebih tenang tanpa elu..."
"Maksud lu, gue mesti lepaskan semuanya ini, karir dan cita-cita gue. Yang gue heran, kenapa lu enggak pernah ngerti kerjaan gue, nggak ngerti profesi gue, gue juga punya cita-cita, padahal gue selalu nerima profesi elu...."
"Omong kosong!"
"Baik kalau begitu, gue akan berhenti menyanyi, gue tinggalin fans gue, persetan dengan cita-cita gue, semua itu nggak penting, yang penting elu selalu di sisi gue..."
Nikholas diam.
"Sumpah demi Tuhan, gue nggak akan pernah ninggalin elu, jadi apapun gue, gue pengen tetap bersama elu. Semua ini nggak penting, elu lah yang paling penting bagi gue, Nik," ujar Adel.
Nikholas tak menjawab. Lalu menutup teleponnya.
Adel menangis. Gadis berdiri dan berjalan ke arah Mada.
"Peluk!"
Mada berdiri dan memeluk gadis itu.
"Sabar, dia butuh waktu," bisik Mada.
Air mata berucuran.
Jakarta 12 September 2012

No comments:

Post a Comment