Tuesday, March 5, 2013

Pesta

CERPEN
Tahun ajaran baru yang menyenangkan. Adam anakku naik ke kelas tiga. Karena terbatasnya ruang kelas, murid kelas tiga dan kelas empat masuk siang. Mulai dari jam satu sampai jam lima sore.
Waktu menunjukkan pukul lima sore, anak-anak usia sembilan tahunan menghambur riang dari kelas. Mereka adalah murid-murid Sekolah Dasar Negeri yang sedang bubaran sekolah.
Aku duduk di dekat penjual minuman dengan Sri Wiyani. Ibu Nadia, teman sekelas Adam anakku. Sejak kedua anak kami kelas satu, aku dan dia menjadi akrab. Sri adalah ibu yang perhatian terhadap pendidikan anaknya. Dari dia aku selamat karena Adam sering ketinggalan kalau menulis soal untuk PR. Aku cukup menelponnya, dan dia memberi tahu semua soal PR-nya. Maklum anak laki-laki terlalu sembrono dan tidak teliti.
"Adam, sayaang," kataku pada anakku sambil memeluknya ketika dia setengah berlari menghambur dari kelas.
Seperti biasa aku membuka buku PR-nya dan memeriksanya. Setelah kelas tiga, dia sudah tidak sembrono lagi, semua soal sudah dicatat dengan rapi.
Sri juga sedang memeriksa buku-buku Nadia. Dulu aku kurang perhatian seperti itu, setiap menjemput Adam, langsung pulang tanpa memeriksa buku PR. Sri yang memulainya, aku ikut-ikutan. Setelah kebiasaan Sri berpindah padaku, anakku sudah tak pernah lagi menunggak PR seperti dulu. Aku melirik ke arahnya, sambil bertanya.
"Sudah lengkap PR-nya Sri?" tanyaku.
Sekejap aku kaget melihat buku tulis latihan dan buku tulis PR milik Nadia. Buku itu sudah kucel, dan jelek karena buku lama.
"Buku anakmu kenapa?" tanyaku.
"Ini buku lama, bagian belakang yang masih kosong aku gabung jadi satu," katanya.
"Ya Alloh, Sri..." leherku serasa tersekat.
"Aku tak punya cukup uang, untuk membeli buku tulis baru," kata Sri.
Aku membuka dompetku dan mengeluarkan uang dua ratus ribu. Uang itu kemudian ku ulurkan pada Sri.
"Untuk membeli buku Nadia dan Widya," kataku.
Dia memandangku. Matanya berkaca-kaca. Tetapi uang itu belum diterimanya.
"Sepatu Widya rusak, sudah aku bawa ke tukang sol, tetapi dia menyerah, sudah hancur, jadi aku utamakan untuk membeli sepatu baru, " katanya.
"Terimalah uang ini, belikan anak-anakmu buku tulis baru," kataku meraih tangannya lalu aku taruh uang itu di telapak tangannya.
"Aku pinjam dulu ya, Bunda," katanya.
"Tidak, pakai saja," kataku.
"Terima kasih, Bun," ujarnya berkaca-kaca.
***
Suamiku memarkir mobil di depan sekolahan. Aku berpamitan sama Sri, dan bergegas menuju parkiran. Tergopoh aku membawa tas sekolah Adam, dan menggandeng tangan anak itu.
"Kita pulang dulu?" tanyaku pada suami.
"Langsung aja, bolak balik capek," jawabnya.
"Tetapi bajuku seperti ini...." kataku.
"Nggak masalah," katanya, "hanya pesta rumahan."
Pesta ultah perkawinan itu dari luar terkesan sederhana. Tetapi saat aku masuk, benar-benar tatanan pesta yang mewah. Undangan memang hanya kalangan terbatas, tidak banyak tetapi juga tidak sedikit. Bahkan mereka mengundang anak-anak yatim.
Aku menemui Viera yang sedang asyik menyambut tamunya. Begitu melihat aku dan suamiku datang, Viera memanggil Susilo suaminya. Susilo dan Viera adalah sahabat keluarga kami. Susilo aktif di politik dan sekarang menjadi walikota. Mereka berdua menyambut kami.
"Miriam..." kata Viera membuka tangan lalu memelukku.
Susilo bersalaman denganku, menyalami suamiku, lalu mereka berangkulan meninggalkan aku dan Viera.
"Kau terlihat cantik," kataku pada perempuan berdandan menor itu.
Penampilan Viera sungguh berbeda dengan jaman dahulu. Perempuan sederhana dengan senyum yang indah itu telah menjadi seorang istri pejabat. Aku tahu semua dandanan itu adalah manifestasi dari kedudukan suaminya.
"Kamu juga Mer, kamu tak berubah, alangkah rindunya aku, aku terlalu sibuk dengan segala tetek bengek ini, " ujarnya.
Tak beberapa lama muncul tiga perempuan cantik menemui kami. Viera memperkenalkan aku pada para perempuan itu.
"Kenalkan, ini Miriam sahabatku waktu kuliah," kata Viera.
"Endang Palupi," kata seorang perempuan berbaju merah penuh manik-manik.
"Ini suaminya pejabat eselon," kata Viera.
"Miriam," jawabku senyum.
"Retno Sinar Wulan," kata yang lain lagi.
"Ini nyonya anggota DPR," kata Viera.
"Miriam," jawabku.
"Fitri Nining Damayanti," sapa satunya lagi.
"Ini suaminya jenderal," kata Viera bangga.
"Miriam," kataku.
"Dia ini penulis novel," kata Viera. Sontak wajah mereka berubah. Ekspresinya menjadi aneh. Girang, senang, melonjak-lonjak seperti histeris.
"Oh my God," teriak Fitri.
"Wonderful...." Endang berseri-seri.
"Hebaaaat..." kata Retno Wulan angkat jempol.
"Terima kasih, biasa saja kok," kataku.
Pengajian dimulai. Para perempuan dengan dandanan seperti topeng itu, memasang wajah khusyuk duduk dengan rapi penuh sopan santun. Aku duduk di pojok sambil memangku anakku. Viera ada di antara mereka. Mengangguk-angguk ketika sang ustad menebarkan nasehat.
Adam ingin pipis, akhirnya aku berjalan diantara para jamaah dan menuju toilet di sudut ruangan. Membuka celana Adam, dan menyuruhnya pipis sendiri. Toilet itu luas, biarpun hanya toilet rumah, di desain seperti hotel. Seseorang masuk dan berdiri di depan wastafel. Oh Retno Sinar Wulan.
"Isi pengajiannya bagus ya," sapaku pada perempuan itu. Dia tak diam tak bereaksi.
"Ustadnya lumayan ya," kataku sambil memandangi wajahku di cermin.
Perempuan itu menoleh ke arahku. Wajahnya aneh, tidak tersenyum, tidak bicara. Seperti orang yang tidak kenal. Melengos, memasukkan make up nya ke tas dan meninggalkan ruangan itu.
"Oh, ternyata menderita amnesia akut ya," kataku pada bayanganku di cermin.
Padahal beberapa menit yang lalu dia begitu heboh memujiku. Sekarang sudah tak kenal. Masak sih lupa.
Setelah Adam selesai pipis, aku kembali ke ruangan. Acaranya makan-makan. Aku mengambil sepirimg nasi dan lauk untuk Adam. Aku sendiri hanya makan salad buah-buahan. Viera mengajakku bergabung semeja dengan dia dan teman-temannya itu. Aku tak menolak. Tetapi aku asyik dengan mangkukku. Para perempuan itu lagi yang harus aku temui. Sedihnya, saat aku bersama Viera, mereka begitu ramah. Kalau tertawa kurasa giginya pada rontok, kalau tidak dipasang kawat gigi.
Mereka membicarakan barang-barang mahal. Mereka membicarakan sekolah anak-anak mereka yang mewah. Membicarakan cafe-cafe langganan. Butik-butik, salon-salon dan juga bank-bank yang bagus buat menyimpan uang mereka.
Hatiku teriris. Para istri pejabat ini, sedang berhura-hura dengan jabatan suaminya. Mereka penuh kepalsuan dan seperti monster yang menjijikkan. Air mataku menetes, dan segera kuhapus dengan punggung tanganku. Aku terbayang wajah Sri. Terbayang buku anak-anaknya yang kucel itu. Aku merasa begitu sendiri, di tengah pesta ini.
Jakarta, 23 Juli 2011

No comments:

Post a Comment