Monday, December 10, 2012

Novel Langit Merah Jakarta, Aspirasi Rakyat Terhadap Pemerintahan yang Bersih

ANALISIS NOVEL
Potensi Karya Sastra Sebagai Media Untuk Menyuarakan Aspirasi dan Pemikiran Rakyat
By Swarsons
A. Pendahuluan
Karya sastra adalah produk kreatif imajinatif dengan media bahasa. Sebuah karya sastra tidak dapat dan tidak pernah dipergunakan sebagai referensi utuh tentang situasi tertentu yang diungkapkan karena karya tersebut merupakan satu tawaran imajinatif yang kaya pilihan kemungkinan terhadap struktur kompleks kehidupan. Secara sosiologis, karya sastra dapat dipandang sebagai social stock of kowledge yakni tempat terhimpunnya suatu pengetahuan tentang masyarakat yang senantiasa dapat ditimba. Dalam totalitasanya karya sastra sering kali menunjukkan adanya relevansi sosial. Oleh karena itu dalam pandangan sosiologi sastra, sastra adalah cermin realitas sosial.Yandianto (2002:4) menyatakan bahwa karya sastra sebagai catatan jiwa pengarang senantiasa mencerminkan sikap kehidupan sosial pada masa sesudah, sebelum atau saat karya sastra itu diciptakan, baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan jiwa pengarang itu sendiri. Karena karya sastra merupakan salah satu gambaran kehidupan masyarakat pada suatu masa maka dengan karya sastra itu kita dapat melakukan penelitian-penelitian.
Sebagai produk imajinatif kreatif yang menyuguhkan cerita yang fiktif, Sastra adalah seluruh ekspresi manusia terhadap hidup dan kehidupan. Sastra sebagai bagian dari seni dan budaya seringkali dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Di zaman penjajahan Jepang sastra Indonesia digunakan oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai alat propaganda bagi tujuan Jepang untuk memenangkan perang di kawasan Asia timur. Di tahun 60-an sastra digunakan sebagai alat untuk tujuan politik, seperti pada Lekra. Dua kasus yang telanjur tercatat dalam sejarah sastra Indonesia tersebut tentu memberi konotasi negatif terhadap fungsi sastra maupun esensi dan eksistensi sastra.
Sastra memang berbaur dengan budaya, agama, politik, filsafat, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam sastra tentu tidak mustahil terkandung budaya, agama, politik, filsafat, dan sebagainya itu baik secara eksplisit maupun implisit.
Karya sastra ditulis oleh pengarangnya dari olah rasa, olah pikir dan perenungan, yang dalam dengan proses kreatif yang berbeda-beda terhadap hidup dan kehidupan yang dibumbui dengan imaginasi sehingga sastra adalah ajaran yang disampaikan dengan cara yang indah atau menyenangkan. Hal itu sesuai dengan dulce et utile yang disampaikan Horace.
Karya sastra dinikmati berbagai kalangan.. Antara karya sastra, satrawan dan masyarakat (pembaca) saling berhubungan erat. Oleh karena itu karya sastra sangat berpotensi dimanfaatkan sebagai media penyampaian aspirasi dan pemikiran oleh berbagai pihak. Dalam sejarah sastra Indonesia aspirasi dan pemikiran telah terbukti bahwa berbagai pihak telah mempergunakan atau memanfaatkan sastra sebagai media penyampaian berbagai aspirasi dan pemikiran sejak masa kesusastraan Melayu rendah hingga sekarang.
B. Potensi Karya Sastra Sebagai Media Penyampaian Aspirasi dan Pemikiran
Aspirasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang’ atau dapat disinonimkan dengan kata cita-cita, keinginan atau hasrat. Sedangkan pemikiran adalah proses, cara, perbuatan memikir (KBBI, 2003: 872).
Setiap orang pasti mempunyai cita-cita, keinginan atau hasrat. Hal itu dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan cara. Seorang musisi menyampaikan aspirasi dan pemikirannya tentang berbagai hal dengan media musik dan lagu, misalnya Ebiet G Ade yang lagu-lagunya sarat makna, bukan sekedar lagu. Begitu pula seorang penulis (sastrawan) menyampaikan segala uneg-uneg di kepalanya dan apa pun yang didengar, dilihat, dan dirasakan tentunya dengan media sastra, mungkin dalam bentuk puisi, cerpen, novel atau drama. Dalam kesusastraan Indonesia kita pernah mengenal adanya karya sastra bertendensi, yaitu karya sastra yang ditulis untuk atau condong pada tujuan tertentu. Roman Layar Terkembangkarya Sutan Takdir Alisjahbana adalah novel yang disebut para kritikus sastra Indonesia H.B Jassin sebagai roman bertendensi.
Tetapi, aspirasi dan pemikiran tentang berbagai hal dalam karya sastra juga tidak selalu berasal dari sastrawan sendiri, tetapi dapat merupakan semacam “pesanan” dari pihak tertentu. Hal ini biasanya terkait dengan politik sastra yang sedang berlaku di suatu masa tertentu. Seorang sastrawan terkadang karena terdesak kebutuhan hidup dapat melupakan idealismenya dan terpaksa menjadi penjahit sastra untuk memenuhi selera pasar atau pesanan tertentu dari pihak tertentu pula. Bukankah sastrawan juga manusia yang harus memenuhi kebutuhan (ekonomi) dirinya dan keluarganya?
Dalam konteks publikasi, produksi, sirkulasi dan distribusi sastra Indonesia, surat kabar atau koran mempunyai peran yang sangat penting. Pengarang pemula sampai sastrawan mapan, sekelas Putu Wijaya, masih menggunakan media massa koran sebagai publikasi pertama karya sastra mereka sebelum karya sastra itu dibukukan oleh penerbit. Oleh karena itu, karya sastra adalah media yang sangat efektif dan efisien penyuaraan aspirasi dan pemikiran oleh berbagai pihak. Meskipun pembaca sastra Indonesia belum dapat dikatakan besar karena masyarakat kita yang memang belum berbudaya baca, dan membaca sastra masih sebuah kebutuhan nomor terakhir dan mungkin tidak pernah terpikirkan, setidaknya masih ada sedikit kalangan seperti akademisi, mahasiswa, komunitas pegiat sastra yang membaca sastra sehingga aspirasi dan pemikiran itu tetap tersampaikan. Cerpen misalnya, hampir semua surat kabar memuatnya setiap hari minggu baik cetak maupun online via laman di internet.
C. Beberapa Aspirasi dan Pemikiran yang Disuarakan Lewat Karya Sastra Indonesia
Seperti yang telah diuraikan di depan bahwa karya sastra sangat berpotensi dijadikan media penyampaian aspirasi, pemikiran, sikap dan sebagainya oleh berbagai pihak. Berikut ini adalah beberapa aspirasi dan pemikiran yang disampaikan lewat karya sastra.
1. Emansipasi wanita/Kesetaraan Gender
A Teeuw dalam Mahayana (1992:54) menyatakan bahwa karya penting ketiga di antara roman-roman sebelum perang menurut anggapan umum ialah Layar Terkembang. Sebagian besar kritikus sastra antara lain, H.B Jassin, Amal Hamzah, Ajip Rosidi juga berpendapat bahwa sikap dan pemikiran tokoh Tuti lebih menyerupai sebagai sikap dan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana khususnya dalam usaha mengangkat harkat kaum wanita Indonesia. Tokoh Tuti yang digambarkan sebagai wanita modern yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi memang tidak sedikit melontarkan gagasan progresif. Ia juga selalu merasa terpanggil untuk ikut terjun memajukan bangsanya sendiri, khususnya kaum wanita.
Aspirasi dan pemikiran terhadap kemajuan kaum wanita sudah terpikirkan oleh seorang sastrawan sejak sebelum negara merdeka dan telah berhasil disuarakan lewat karya sastranya, dalam hal ini sastra yang berbentuk roman. Kelak setelah merdeka, bahkan sekarang pelan tapi pasti kemajuan kaum wanita Indonesia sudah tercapai. Banyak peran wanita yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di segala bidang. Dengan kata lain emansipasi wanita Indonesia bukan lagi sesuatu yang patut dipertanyakan kaum wanita itu sendiri. Wanita Indonesia sudah berperan sejajar dengan kaum pria. Dari tukang parkir sampai menteri ada wanita.
2. Kesejahteraan Sosial dan Keadilan bagi Rakyat Kecil
Masalah Kesejahteraan sosial dan keadilan adalah masalah yang pelik di negeri ini. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa angka kemiskinan semakin turun, tetapi yang tampak di masyarakat kemiskinan di mana-mana. Potret kemiskinan ini banyak ditangkap sastrawan dalam bentuk cerpen-cerpen yang di muat di surat kabar. Misalnya Senyum Karyamin oleh Ahmad Tohari. Cerpen ini bercerita tentang kesusahan hidup si Karyamin, seorang penambang batu. Secara umum dapat dikatakan bahwa karya-karya sastra Ahmad Tohari selalu mengangkat tema penderitaan dan ketidakadilan yang diterima rakyat kecil seperti pada novelRonggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah, dan Lingkar Tanah Lingkar Air. Sementara itu cerpen bertema ketidakadilan yang diderita rakyat kecil pernah ditulis Putu Wijaya dengan judul Pengadilan Rakyat dan dimuat di harian Jawa Pos.
3. Perlakuan yang Manusiawi terhadap Eks Tapol G30 S/PKI
Indonesia mengalami masa yang sangat kelam, yaitu tahun 1965. Pada tahun itu, tepatnya pada tanggal 30 September 1965.terjadi peristiwa besar yaitu pemberontakan G30 S/PKI gerakan kudeta itu didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan itu bisa digagalkan oleh Panglima Kostrad Letjend Soeharto. Kelak, ketika Letjend Soeharto berhasil menjadi presiden Indonesia ke-2, PKI dilarang dan pengikutnya dijadikan tahanan politik. Sebagian tanpa proses peradilan. Bahkan di tahun 80-an Soeharto pernah memerintahkan pembasmian pengikut PKI sampai ke akar-akarnya. Perintah itu diterjemahkan salah, sehingga yang terjadi di masyarakat adalah Petrus (Penembak Misterius). Orang-orang bekas tapol yang dipenjara di Pulau Buru dianggap sampah masyarakat. Tentu saja hal itu tidak adil dan sangat tidak manusiawi. Pemikiran agar masyarakat bisa menerima orang-orang tersebut secara manusia disuarakan ahmad Tohari lewat novel Kubah.
4. Tuntutan Terciptanya Pemerintahan Bersih/Reformasi
Rezim orde baru tumbang setelah berkuasa 32 tahun di negeri ini. Berawal dari krisis ekonomi pada tahun 1997, krisis multidemensi melanda, termasuk krisis politik. Serangkaian unjuk rasa, demonstrasi oleh berbagai elemen masyarakat yang dimotori mahasiswa menuntut presiden Soeharto mundur karena dianggap tidak mampu lagi mengelola negara. Puncaknya pada 21 mei 1998 gedung MPR/DPR diduduki demostran dan memaksa presiden Soeharto meletakkan Jabatan.
Salah satu novel yang berhasil merekam peristiwa itu dengan baik adalah novel Langit Merah Jakarta karya Anggie D. Widowati. Novel yang ditulis Anggie, yang berprofesi sebagai wartawan itu menyuarakan harapan-harapan rakyat, kaum terpelajar, mahasiswa pada terciptanya pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan tidak korup.
5. Keseimbangan Pemenuhan Kebutuhan Dunia dan Akhirat
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis adalah cerpen yang menyindir sebagian kalangan yang hanya mementingkan akhirat dan melupakan kepentingan dunia. Lewat tokoh Haji Saleh yang setiap hari kerjanya beribadah, dan beribadah saja, ternyata di akhirat kelak di masukkan neraka, bukan surga, kakek yang setiap hari mengurusi mushola kampung itu menjadi frustasi dan akhirnya bunuh diri. Cerpen ini mengamanatkan kepada pembaca bahwa dalam hidup ini antara beribadah dan bekerja harus seimbang dan berjalan kedua-duanya. Cerpen ini sangat populer dan menjadi bahan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah sehingga aspirasi dan pemikiran Navis tentang perlunya keseimbangan pemenuhan kebutuhan dunia dan akhirat menjadi pencerahan bagi pembacanya. Persoalan surga-neraka juga disampaikan Djamil Suherman dalam novel Perjalanan ke Akhirat.
6. Kesempatan Memperoleh Pendidikan yang Bermutu bagi Rakyat Miskin.
Pendidikan adalah masalah yang sangat penting dalam membangun pondasi bangsa. Oleh karena itu pemerintah harus melaksanakan pendidikan yang bermutu bagi semua warga negara. Hal ini merupakan amanat UUD 1945. Tetapi, kenyataannya belum semua anak usia sekolah mendapatkan haknya bersekolah karena kemiskinan. Gedung sekolah rusak bahkan ambruk, buku-buku mahal, sekolah mahal tetapi ironisnya tidak bermutu. Komersialisasi pendidikan terjadi dari tingkat TK sampai PT. Gambaran buramnya pendidikan negara ini disampaikan Andrea Hirata lewat novel Laskar Pelangi. Lewat novel ini pula pengarang mengajak semua orang untuk tidak putus asa, berani bermimpi untuk mewujudkan cita-cita yang setinggi langit.
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Karya sastra sangat berpotensi dijadikan media penyampaian aspirasi, pemikiran, sikap dan sebagainya oleh berbagai pihak untuk berbagai kepentingan.
2. Dari zaman kesusastraan Melayu rendah hingga sekarang terbukti bahwa sastra digunakan sastrawan sebagai media menyuarakan aspirasi dan pemikiran yang berhasil membawa pencerahan dan perubahan positif di masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Mahayana, Maman S. 1992. Ringkasan dan ulasan novel indonesia modern. Jakarta: Gramedia.
Orientasi Kritik. Jakarta: Bening. Yandianto. 2004.
Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Indonesia. Bandung: M25

No comments:

Post a Comment