Tuesday, December 4, 2012

Dadaku Sesak Oleh Nikotin

FLASH FICTION.
Telepon genggamku berdering. Ada perempuan terisak di sana. Aku tahu dia Naira.
"Naira, ada apa?" tanyaku.
Perempuan itu tak menjawab, tetapi malah tambah menangis.
"Baik, aku ke situ, kamu di rumah kan?" ujarku.
Aku kenakan celana jins dan kaos, lalu keluar kos, menuju halte. Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di apartemen Naira.
Mata gadis itu bengkak, karena terlalu banyak menangis. Aku biarkan dia terus menghabiskan tangisnya. Asbak di hadapannya sudah penuh putung rokok. Dua bungkus rokok mild tak jauh dari asbak itu.
"Dadaku ini rasanya sudah penuh dengan asap rokok," katanya memulai pembicaraan.
Jemarinya yang lentik mengambil satu batang rokok lagi, menyelipkan di bibirnya dan tangan kanannya menjentikkan korek di ujung rokok itu.
"Ada apa? Pasti soal Ben kan?" aku bertanya.
Dia mengangguk.
"Laki-laki brengsek!"
"Kali ini apa ulahnya?"
"Juni, dia mencampakkanku seperti sampah..."
Ketika berbicara, ada butiran air mata luruh di pipinya.
"Ada perempuan lain?"
"Entah..."
"Tetapi tak seharusnya kamu merusak diri sendiri. Sudah berapa kotak rokok kamu habiskan sepagi ini?"
"Biarin aja, Jun, semua ini terlalu menyakitkan. Aku benar-benar telah hancur," Naira tersedu lagi.
"Ya sudah, terserah..."
"Aku butuh waktu, Juni..."
"Aku tahu, alihkan ke hal positif, kalau terus menerus merusak dirimu, itu artinya kamu sudah kalah..."
"Aku sudah nggak ada semangat hidup lagi..."
"Hahaha... Bercanda kamu, Ra, alihkan, lawan semua kesedihanmu..."
"Aku sudah tak tahu lagi mesti bagaimana..."
"Jangan merusak diri..."
"Ben selalu berpesan agar aku tidak cengeng, tetapi sekarang dia sudah tak ada lagi disisiku, aku hancur tanpanya..."
"Lawan, Ra, lawan," kataku bersemangat.
Naira tak menjawab. Dia memadamkan rokoknya lalu mendatangiku. Aku berdiri dan memeluknya.
"Masa depanmu masih panjang, masih banyak peluang di depanmu," kataku.
"Andai aku bisa..."
"Semua butuh waktu, tetapi kamu pasti bisa," ujarku menyemangati.
"Ini tak adil, Jun..."
"Aku tahu," jawabku.
"Kesakitan ini, mengiris..."
"Dia tak boleh menyakitimu, biarkan dia menerima balasannya," tambahku.
"Dadaku sudah sesak oleh nikotin..."
"Jalani saja kesedihanmu, Tuhan tahu segalanya..."
Lalu aku peluk erat tubuh kurusnya. Dia masih menangis.
"Semua akan baik-baik saja, Ra, yang baik akan menemukan kebaikan, dan yang jahat akan mendapatkan karmanya, percaya kepadaku."
Naira mengangguk. Masih sesengukan.
Jakarta, September 2012

No comments:

Post a Comment