Sunday, December 2, 2012

Ujian Hidup Lurus Di Tengah Kebathilan Mayoritas Manusia

Di zaman kini,   suara mayoritas dan tradisi mayoritas selalu dijadikan acuan/ patokan kebenaran.  Pilihan mayoritas terbanyak selalu dianggap sebagai keputusan yang harus diikuti, meski bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. 

 

 

Alloh Jalla wa ‘Alaa berfirman :  “Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala )”. (QS. Al An’aam: 116).

 

Allah juga berfirman :  “Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui”. (QS. Al A’raaf: 187).

 

 

 

“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al A’raaf: 102).

 

Bila demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”.  Suatu pernyataan sesat yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau mereka kemanakan firman-firman Alloh di atas ?!.

 

Hukum mayoritas juga terjadi di bidang dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Alloh telah berfirman tentang nabi Nuh ‘Alaihi Salam (yang jumlah pengikutnya sangat sedikit, red)  :

“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit”. (QS. Huud: 40).

 

Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda :  “Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….”. (HR. Al Bukhari no:5705, 5752, dan Muslim no:220, dari hadits Abdullah bin Abbas)

 

Asy Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata : “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas, dan beranggapan bahwa kebenaran itu ada pada mayoritas.  Ini tidak benar,  yang benar adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja”.

(Taisir Al ‘Azizil Hamid, hal.106).  Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata : “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, 

 

sebagaimana Alloh berfirman :  “Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh ?)”. (QS. Al An’aam: 116).

 

Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan : “Sesungguhnya mayoritas manusia melakukan demikian, mengapa aku harus berbeda dengan mereka ?”. (Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 106).

 

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Maka tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak ukurnya adalah al haq (kebenaran), barangsiapa di atas kebenaran- walaupun sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata : “Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.61).

 

Asy Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alus Syaikh berkata : “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Alloh dan Rosul-Nya”. (Qurrotu Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1).

 

Mayoritas Manusia Berada Dalam Kebathilan

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik.  Akan tetapi sunnatulloh (ketentuan Allah, red) menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan (melakukan banyak keburukan, red).  Allah subhanahu wa ta ‘ala berfirman (artinya) :  “Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103).

 

“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh”. (QS. Al An’aam: 116)”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.62).

 

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafus Sholih (orang-orang soleh terdahulu, para shahabat nabi dan generasi berikutnya, red).

 

Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syari’at Islam.

 

Wallohu A’lam Bish Showab.




Sumber : 
Diringkas tanpa merubah pokok isi dari bulettin Al-Ilmu 17 Romadhon 1429 , 
selengkapnya baca di  http://www.buletin-alilmu.com/menengok-sketsa-kehidupan-kita


No comments:

Post a Comment