Monday, September 23, 2013

Aku Pincang, Dia Pembunuh

CINTA YANG NAIF
Kalau aku menikah dengan Satar, memang kenapa? Dia adalah laki-laki yang menjadi cinta pertamaku. Dia sangat baik dan perhatian padaku, dan selalu menjadikanku sebagai ratu. Biarpun dia pembunuh, narapidana, dia adalah penguasa cinta dalam hatiku.
Kenalkan, namaku Peni. Umurku 30 tahun. Kaki kananku normal, tetapi kaki kiriku kecil, sehingga tidak seimbang bila ku pakai untuk berjalan. Singkatnya aku perempuan berkaki pincang. Dan aku tahu bahwa aku tak akan laku kawin, mana ada laki-laki yang mau menikahi perempuan pincang.
Untuk menutupi rasa putus asaku soal perjodohan, aku menyibukkan diri berjualan di pasar. Sudah sering orang meledek keadaanku. Peni si pincang, begitu aku dijuluki. Seringkali aku mengutuk ibuku yang tidak memberikan aku imunisasi polio, virus polio merengut kaki kiriku saat aku berusia 3 tahun.
"Orang pincang gitu mana laku kawin?" kata seseorang.
"Iya, yang normal juga banyak..."
Sampai suatu hari, ada seorang laki-laki muda mampir di lapakku. Laki-laki itu berkulit hitam, bertubuh kecil, tetapi sekel. Matanya bersinar penuh keberanian dan sedikit nakal. Laki-laki itu menggodaku. Dia adalah Satar, seorang preman kampung yang disegani di kampung kami.
"Kalau beli penjualnya, boleh enggak," kata si Satar.
"Ih, Mas ini ada-ada saja, nggak boleh dong."
"Kok nggak boleh?"
"Iya, kan sudah ada yang punya..."
"Oh ya? Siapa dia?"
"Ayahku..."
"Oh, kalu gitu aku lamar ya ke ayahmu?"
Hatiku berdebaran. Biarpun hanya preman, Satar berwajah lumayan, tidak jelek. Ada kumis tipis di atas bibirnya. Jujur aku tak bisa menjawab waktu dia mengatakan akan melamarku. Apa kata ayahku kalau aku dilamar preman. Dan aku juga takut, kalau Satar lihat kakiku yang cacat, pasti dia tak sudi lagi kepadaku.
"Tapi kakiku, Mas..." aku terisak.
Tak kuduga, dia meraih tanganku dan tersenyum lembut.
"Aku tahu, aku tak melihat fisikmu, tetapi hatimu..."
Itulah untuk pertama kalinya aku berpegangan tangan dengan seorang laki-laki. Pastilah dia tahu kalau kakiku cacat. Semua orang di kampung ataupun di pasar tahu kalau kakiku cacat. Tetapi laki-laki yang ada di depanku ini bilang serius ingin menikahiku. Dia pun kemudian menghadap ayah, dan ayah menerima lamaran itu.
Singkat cerita kami menikah. Sampai usia pernikahan ke 3 tak juga dikaruniai anak. Sebagai suami, Satar sangat baik dan tanggungjawab. Selalu memberi uang belanja, biar pun tidak pasti dan tak seberapa. Dan dia juga tak malu membawaku berjalan-jalan ke pasar malam atau tamasya. Dia selalu menggandengku, tak peduli dengan cara berjalanku yang aneh.
Malam itu, saat kami bercengkerama di ruang televisi, ada orang mengetuk pintu. Ternyata mereka adalah polisi, mereka akan menjemput suamiku. Satar ketahuan merampok toko dan membunuh pemiliknya. Suamiku tak bisa apa-apa. Dia mengaku dan ditangkap dengan damai.
Aku sering menengoknya, memberinya semangat dan makanan. Aku menemuinya, baik selama di tahanan polisi mapun di penjara yang sekarang. Satar dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Berarti aku harus menunggunya sampai 15 tahun ke depan. Namun aku akan jalani semua, aku selalu mengiriminya makanan kesukaannya, tahu dan tempe bacem. Seminggu setidaknya 3 kali aku menengoknya.
Sekarang di kampung maupun di pasar aku mendapatkan julukan baru, Peni pincang istrinya pembunuh. Aku hanya diam dan berdoa buat suamiku. Semoga Tuhan selalu menjaga cinta ini, aku tak ingin membiarkannya sendirian, aku sangat mencintainya. Aku tak pernah peduli kata orang tentang perkawinanku ini.
Jakarta, 23 September 2013

No comments:

Post a Comment