Wednesday, September 18, 2013

Seandainya Adam dan Hawa Tidak Memakan Buah Khuldi

Peristiwa awal-mulanya kejatuhan Adam dan Hawa ke dunia merupakan kisah yang sangat menarik, bukan hanya dalam khazanah Islam, tetapi juga agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Kristen. Namun kalau dilihat gaya bahasa Al-Qur’an dalam menceritakan kisah ini, kalimat-kalimatnya sangat membuka peluang untuk penafsiran, mulai dari pemakaian kata bahasa Arab, susunan kalimat, maupun hubungan antara satu kelompok ayat dengan kelompok lainnya. Keterbukaan penafsiran kisah ini anehnya tidak membuat maksud dan tujuan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk terhadap eksistensi Allah menjadi tidak jelas. Apapun penafsiran yang dimunculkan, muaranya tetap saja kepada satu hal, bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Pengampun, sedangkan manuia adalah makhluk-Nya yang lemah, cenderung berbuat salah dan ujung-ujungnya kembali menyerahkan diri kepada Allah untuk meminta ampunan.

Al-Qur’an sendiri menceritakan kisah ini terpencar sebanyak 7 kali dalam 7 surat, yaitu : Al-Baqarah 30-39, Al-A’raaf 11-25, Al-Hijr 26-42, Al-Kahfi 50, Al-Isra’ 61-65, Thaaha 115-124 dan Shaad 71-85. Inti dari kisah tersebut bisa dilihat, baik melalui penggabungan semua ayat maupun dibaca secara sendiri-sendiri, pengulangan tidak diartikan menyampaikan fokus kisah yang sama karena setiap rangkapan ayatnya memiliki kekhususan masing-masing.

Satu hal yang membedakan pemahaman Islam dengan ajaran Yahudi dan Kristen, ‘terlemparnya’ umat manusia untuk hidup di dunia ini bukanlah merupakan suatu kutukan. Ayat Al-Qur’an yang menginformasikan hal tersebut hanyalah menjelaskan adanya beberapa perubahan yang dialami oleh Adam dan Hawa. Setelah terjadinya pelanggaran, Allah lalu memerintahkan mereka untuk turun ke dunia dengan menyebutkan bagaimana kondisi yang akan dialami mereka dan anak-keturunan, bahwa manusia di dunia akan bermusuhan satu sama lain (QS 2:36), (QS 7:24) dan (QS 20:123), namun sebaliknya dikatakan juga pada ayat yang sama, manusia juga akan menjalani kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan, mempunyai tempat kediaman dan tetap akan mendapatkan petunjuk dari Allah. Pada banyak ayat lain, Al-Qur’an menyebutkan juga bahwa kehidupan di dunia adalah ‘kesenangan yang menipu’ (QS 57:20) dengan segala rejeki, harta, emas perhiasan, anak keturunan (QS 13:26), (QS 18:46), ( 57:20), (QS 9:55) dan banyak ayat lainnya, sehingga membuat orang-orang yang terlena dengannya akan lebih mementingkan kehidupan dunianya dibandingkan apa yang akan diperoleh di akhirat (QS 2:212), (QS 30:7), (QS 76:27), intinya tidak ada satu ayatpun yang menyatakan hidup di dunia ini penuh ketidak-enakan, sengsara dan hasil dari suatu kutukan. Sebaliknya penggambaran kondisi ‘jannah’ tempat Adam dan Hawa sebelumnya digambarkan bukan sebagai suatu yang berkontradiksi dengan apa yang dialami mereka di dunia. Ketika Allah memerintahkan mereka untuk tinggal di ‘jannah’ setelah masa penciptaan mereka, Allah menyatakan bahwa ditempat tersebut : tersedia makanan yang baik lagi banyak (QS 2:35), bisa dimakan dimanapun mereka sukai (QS 7:19), tidak akan kelaparan, dahaga, ditimpa panas matahari dan telanjang (QS 118-119).

 Dengan memperbandingkan kedua kondisi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kehidupan dunia tempat Adam dan Hawa ‘dilemparkan’ Allah bukan merupakan alam yang bertolak-belakang dengan ‘jannah’ tempat mereka hidup sebelumnya. Apa yang mereka dapatkan disana juga mereka dapatkan di dunia ini, kalaupun dikatakan bahwa kesenangan hidup didunia hanya sampai batas waktu yang ditentukan, maka tidak juga ada pernyataan bahwa Adam dan Hawa juga mengalami kesenangan hidup dijannah selama-lamanya, toh buktinya mereka juga harus dikeluarkan dari sana karena telah melakukan kedurhakaan kepada Allah. Lagipula seandainya hidup di dunia dipersepsikan sebagai kutukan yang diterima Adam dan Hawa, maka mereka tentu saja akan menularkan pemahaman ini kepada anak-cucu sampai ke akhir jaman, dan akan terjadi suatu pandangan global bahwa menjalani kehidupan dunia adalah suatu ketidak-enakan karena hidup dalam kutukan. Ternyata Al-Qur’an justru menyatakan untuk orang-orang yang kafir dan tidak menyadari bagaimana nanti kehidupan akhirat mereka, hidup di dunia adalah kesenangan yang melenakan sehingga enggan untuk meninggalkannya (QS 10:7), (QS 14:3), (QS 2:212). Bagaimana bisa manusia ada yang betah hidup di dunia padahal dinyatakan bahwa ini adalah suatu kutukan..?

Selanjutnya adalah soal kondisi bermusuhan yang diinformasikan Allah tentang kehidupan di dunia. Yang perlu disimak adalah Al-Qur’an sama sekali tidak menyatakan bahwa Adam dan Hawa dijannah tidak akan mengalami kondisi permusuhan satu sama lain, tidak juga dikatakan bahwa mereka akan beranak-pinak disana. Satu-satunya informasi tentang tujuan penciptaan manusia melalui Adam dan Hawa adalah :

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS 2:30)

Allah hanya menyatakan bahwa Dia akan menjadikan ‘seorang khalifah’ dimuka bumi, dan ternyata ‘desain’ manusia tersebut sudah diketahui para malaikat bahwa mereka mengandung unsur yang merusak dan saling bermusuhan satu sama lain, jadi bisa dikatakan bahwa naluri bermusuhan tersebut sudah ada ‘dari sononya’ sudah terintergrasi dalam proses penciptaan Adam dan Hawa sekalipun mereka menjalani hidup dijannah. Ketika Allah menyatakan bahwa kondisi permusuhan tersebut baru muncul setelah dipindahkan ke dunia maka yang berubah bukanlah kodrat mereka yang memang sudah didesain demikian, melainkan munculnya suatu kondisi yang akan mendorong terjadinya permusuhan, suatu kondisi yang tidak ada dijannah tempat mereka berada sebelumnya.

Pertanyaannya adalah :”Apakah kondisi yang bisa mendorong manusia untuk bermusuhan satu sama lain..?”. Dalam hal ini kita bisa bebas menduga-duga, seandainya Adam dan Hawa tetap hidup dijannah dan tidak berkembang-biak disana dengan makanan dan kebutuhan hidup yang tersedia, bisa didapatkan dengan mudah, apakah mungkin diantara mereka akan terjadi pertikaian dan permusuhan..? Permusuhan sepanjang sejarah umat manusia terjadi karena adanya beberapa hal : (1) Manusia berkembang-biak (2) Adanya perebutan kebutuhan secara materil maupun non-materil, sehingga ketika Adam dan Hawa ditempatkan dengan kondisi tidak berkembang-biak dan kebutuhannya terpenuhi maka tidak mungkin terjadi permusuhan diantara keduanya, sekalipun desain mereka memiliki unsur tersebut.

Kalau dugaan ini memang tepat, kita bisa berpikir lebih lanjut tentang perbuatan durhaka yang telah dilakukan Adam dan Hawa sehingga mereka dinyatakan tidak lagi layak untuk hidup dijannah. Al-Qur’an menyebutkan penyebab Adam dan Hawa dikeluarkan dari jannah karena mereka : telah mendekati ‘sajaratun’ – pohon (QS 2:35), 'merasakan sajaratun’ - pohon (QS 7:22), ‘sajaratun khuldi’ – pohon khuldi (QS 20:120).

Perlu diketahui bahwa penamaan ‘sajaratun’ tersebut dengan ‘khuldi’ bukanlah merupakan informasi yang berasal dari Allah, nama tersebut datang dari Iblis yang tercatat dalam Al-Qur’an, demikian juga dengan penjelasan bahwa pohon ‘khuldi’ tersebut adalah sesuatu yang memunculkan : kerajaan yang tidak akan binasa (QS 20:120), bisa merubah manusia menjadi malaikat dan kekal di surga (QS 7:20), penjelasan makna dari ‘khuldi’ ini juga bukan berasal dari Allah, melainkan dari iming-iming Iblis kepada Adam dan Hawa. Menarik untuk diamati tentang iming-iming Iblis ini. Terlepas dari apapun penafsiran tentang ‘sajaratun’, namun ketika Iblis mengiming-imingi Adam dan Hawa bahwa kalau ‘mendekati’ atau ‘merasakan’ sajaratun maka mereka bisa kekal hidup dijannah, artinya dalam pengetahuan yang ada di pikiran Adam dan Hawa, kehidupan mereka dijannah tersebut memang tidak kekal. Tidak masuk akal kalau Iblis mengiming-imingi sesuatu yang sudah diperoleh oleh Adam dan Hawa toh..? Sama saja anda berusaha membujuk seseorang yang sudah kekenyangan dengan makanan, pasti bujukan tersebut tidak akan mempan. Ini bisa memunculkan kesimpulan bahwa Adam dan Hawa ditempatkan dijannah tersebut bukan untuk selamanya, dan itulah yang ada dalam pemahaman mereka berdua.

Hal lain yag menarik untuk disimak adalah soal akibat langsung yang dialami Adam dan Hawa setelah mereka ‘mendekati’ atau ‘merasakan’ sajaratun khuldi tersebut., mereka diinformasikan oleh Al-Qur’an : nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga (QS 20:121) dan (QS 7:22). Pertanyaannya adalah :”Mengapa pelanggaran yang mereka lakukan bisa ‘berakibat langsung’ dengan terbukanya aurat..? Apakah sebelum itu aurat mereka tertutup atau sebenarnya sama saja keadaannya namun yang berubah adalah ‘kesadaran’ mereka terhadap aurat..?.”. Ayat ini menunjukkan bahwa terbukanya aurat bukanlah merupakan kutukan yang ditimpakan Allah, melainkan menjadi suatu ‘konsekuensi logis’ dari perbuatan mereka ‘mendekati’ atau ‘merasakan’ sajaratun. Sampai disini, saya tidak perlu meng-explore lebih jauh penafsirannya, silahkan anda membuat penafsiran sendiri..

Dalam kisah Al-Qur’an tersebut Adam dan Hawa dinyatakan sudah bertaubat kepada Allah atas pelanggaran yang mereka lakukan. Dalam QS 2:37 digambarkan penerimaan taubat tersebut dilakukan setelah adanya perintah Allah agar mereka turun kebumi, pada QS 7:23 dinyatakan Adam dan Hawa mengucapkan kalimat taubah sebelum adanya jawaban Allah untuk menurunkan mereka kedunia, sedangkan pada QS 20:122 menunjukkan penerimaan taubat dilakukan juga sebelum perintah Allah tersebut. Ini mengindikasikan bahwa diterimanya taubat Adam dan Hawa bukanlah merupakan hal yang ‘langsung jadi’ secara instan, melainkan melalui proses yang panjang, dimulai sebelum ‘eksekusi’ hukuman, sampai jauh ke masa mereka sudah menjalani hidup di dunia. Dalam satu riwayat dikatakan Adam dan Hawa selama 300 tahun (dalam riwayat yang lain disebutkan 600 tahun) secara terus-menerus memanjatkan do’a ampunan, tanpa berani menegadahkan wajahnya kelangit karena malu. Berapapun lamanya masa-masa tersebut, yang pasti diterimanya taubat Adam dan Hawa memang melalui proses yang panjang.

Pertanyaannya adalah :”Kalau memang taubat Adam dan Hawa sudah diterima Allah, lalu mengapa masih ‘menjalani hukuman’ untuk tetap hidup di dunia..?”. Ketika kita merujuk kepada informasi Al-Qur’an terhadap perbandingan kehidupan dijannah dan di dunia yang dialami mereka, yang dikatakan bahwa diantara keduanya bukanlah sesuatu kondisi yang berkontradiksi, maka bisa kita simpulkan perubahan kehidupan tersebut bukan merupakan akibat dosa atas kedurhakaan mereka, melainkan karena ‘konsekuensi logis’ yang sangat erat kaitannya dengan terbukanya aurat Adam dan Hawa yang juga merupakan ‘konsekuensi logis’ setelah mereka mendekati atau merasakan sajaratun (pohon) khuldi.

Sebagai analoginya, saya akan mengungkapkan sebuah gambaran : Katakanlah sepasang manusia laki-laki dan perempuan yang berstatus lajang, mereka lalu melakukan perzinahan sehingga si wanitanya hamil dan melahirkan seorang anak. Munculnya anak tersebut akan mengakibatkan status sepasang manusia yang sebelumnya lajang, berubah status menjadi seorang ayah dan ibu, status yang disandang mereka tersebut adalah ‘konsekuensi logis’ dari terciptanya seorang anak akibat perbuatan mereka tersebut. Ketika mereka meminta ampun kepada Allah dan Allah memberikan ampunannya, tidak lagi menyatakan perzinahan yang dilakukan adalah dosa, dosa tersebut sudah tidak dianggap lagi sebagai dosa, dihapus dan tidak bakalan diperhitungkan lagi di akhirat, lalu apakah dengan demikian status laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi ayah dan ibu tersebut akan kembali ke asal menjadi lajang..? Apakah si anak yang sudah tercipta akan masuk lagi ke perut ibunya dan kembali menjadi sesuatu yang tidak pernah ada..? Tentu saja tidak demikian, penghapusan dosa dan diterimanya taubat TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan perubahan status.

Demikian juga halnya dengan Adam dan Hawa, perbuatan mereka mendekat atau merasakan sajaratun khuldi membuat status mereka berubah secara logis sehingga mereka tidak bisa lagi menjalani kehidupan di jannah, melainkan harus hidup di dunia ini. Ampunan Allah terhadap taubat mereka bukan berarti perubahan status tersebut menjadi surut kembali, dan kembali ke asal, status baru tetap harus dijalankan, makanya Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa terlemparnya Adam dan Hawa ke dunia merupakan suatu kutukan.. 
 
Sumber: muslim-menjawab

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/LampuIslam

No comments:

Post a Comment