Saturday, September 14, 2013

Hukum Merayakan Maulid Nabi Muhammad S.A.W.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:

Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.

Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)

Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.

Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?

Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).

Jika kita melihat sejarahnya, Rasulullah S.A.W. dan para sahabat tidak merayakannya, keempat mazhab juga tidak merayakan. Beberapa orang yang merayakan berkata bahwa mereka mengikuti Imam Abu Hanifa.Tapi sebenarnya Imam Abu Hanifa tidak pernah merayakannya.

Para Salafus As-shalih (orang-orang saleh terdahulu) tidak pernah merayakan ini.

Perayaan ini sebenarnya datang dari para Fatimiyyun, tapi saat itu perayaan Maulid tidak terlalu populer. Maulid dipopulerkan oleh Raja Al-Muthafar Kawkaburi di akhir abad keenam atau awal abad ketujuh, sekitar 600-700 tahun setelah Nabi Muhammad S.A.W. berpulang ke rahmatullah.

Dan sebenarnya mereka mengambilnya dari umat non-Muslim. Mereka beranggapan bahwa karena orang-orang Kristen merayakan Natal, maka hari kelahiran Rasulullah juga harus dirayakan karena Rasulullah S.A.W. lebih punya hak untuk dirayakan daripada Yesus (Isa ibn Maryam A.S.). Namun tidak dibenarkan kita merayakannya karena orang-orang yang lebih mengerti agama daripada kita tidak merayakannya.

Orang-orang yang merayakan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. juga berargumen bahwa perayaan ini adalah amalan yang baik, karena dalam perayaan ini kita bisa mengingat Rasulullah S.A.W. dan meminta Allah agar merahmatinya. Ini memang hal yang baik, tapi ketika suatu kaum melakukannya tepat pada tanggal yang sama dan setiap tahun, maka ini sama saja mereka telah menciptakan sesuatu yang baru dalam agama.

Kita mengikuti sunnah Rasulullah S.A.W. bukan hanya apa yang dia lakukan, tapi juga apa yang tidak dilakukannya. Ada sunnah fi’liyah (perbuatan yang Rasulullah lakukan) dan sunnah tarkiyah (menghindari perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah). Ini sangat penting. Karena jika seseorang berkata “Kita bisa menyatukannya dan melakukan sesuatu yang tidak Rasulullah lakukan”, maka agama ini akan ternoda dengan bid’ah. Ini berarti siapapun bisa mengubah Islam semau mereka.

Contohnya begini: Anggaplah seseorang berkata: “Rasulullah S.A.W. berdabda: “shalat berjamaah 27 kali lipat lebih baik daripada shalat sendiri.”

Dia juga bersabda: “Kapanpun kalian memasuki masjid, kalian sebaiknya shalat dua raka’at sebelum duduk.”

Sekarang mari kita satukan keduanya. Kita datang ke masjid, dan seseorang menyarankan “Mari kita laksanakan Tahiyatul Masjid 2 raka’at secara berjama’ah.”

Jika seseorang menyarankan itu, apa yang akan terjadi? Tentu saja kita menolaknya karena Rasulullah S.A.W. tidak pernah melakukannya. Karena Rasulullah tidak melakukannya, maka kita juga tidak bisa melakukannya. Dan hal ini diperkuat oleh sabdanya “Aku tidak meninggalkan apapun yang akan mendekatkan kalian kepada Allah tanpa menyuruh kalian untuk melakukannya.” Titik.

Kesimpulannya, takutlah kepada Allah. Jangan mengikuti perayaan Maulid. Ini jelas-jelas bid'ah. Rasulullah S.A.W. bersabda “Setiap hal baru yang dibuat-buat adalah bid’ah, setiap bid’ah tersesat, dan siapapun yang tersesat berada di dalam api (neraka).”

Referensi: muslim.or.id

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/LampuIslam

No comments:

Post a Comment