Wednesday, September 18, 2013

Dia Istri Sahabatku

CINTA YANG NAIF
Inilah aku, panggil saja Martoyo, aku memiliki seorang sahabat bernama Munaf. Kami berdua adalah sahabat karib. Kami berdua berasal dari kota yang berbeda di Jawa Tengah. Merantau ke Jakarta untuk mencari penghidupan. Kami bekerja di sebuah pabrik di Bekasi. Ibaratkan saudara, hidup dan mati kami jalani berdua. Bersama melalui kejamnya kehidupan sebagai buruh. Kami tinggal di rumah petak sempit dan buruk, tak jauh dari pabrik.
Ketika masih SMA, Munaf punya pacar, gadis hitam manis itu bernama Emi. Laki-laki kurus itu menyimpan foto gadis itu, dan dia sangat mencintainya. Emi tinggal di sebuah kota di Jawa, dan secara berkala Munaf pulang ke kota itu untuk menemuinya. Pernah aku diajak pulang ke Jawa, dan aku dikenalkan dengan Emi, entah mengapa ada debaran aneh di dadaku. aku merasa gadis itu adalah jodohku, dan aku berusaha mengabaikan pikiran buruk itu.
Pernikahan pun akan digelar, Munaf memintaku menjadi salah satu saksi. Maka kembali aku ke Jawa, kali ini demi pernikahan Munaf. Aku bahkan rela berhutang untuk membeli tiket kereta ekonomi. Rasanya ikut bahagia menjadi saksi ketika sahabatku menikahi kekasihnya.
Pengantin duduk tenang di mahligai itu. Entah mengapa rasa jiwaku bergetar bila memandangi pengantin wanita. Dan tampaknya dia juga merasakan hal yang sama. Jujur dia adalah pengantin tercantik yang pernah aku lihat. Tiga hari aku di kota itu untuk mengikuti acara pernikahan yang sederhana.
Waktu terus berlalu. Tahun berganti tahun, Munaf dan Emi dikaruniai dua orang anak yang cantik-cantik. Kehidupan perkawinan mereka bahagia. Munaf masih kos denganku karena istrinya tinggal di Jawa. Sesekali saja dia datang ke Jakarta untuk menengok suaminya.
Malapeta tak bisa di tolak. Saat bekerja, Munaf yang pekerjaannya adalah menjalankan mesin bubut, terseret mesin. Laki-laki itu meninggal di tempat. Seluruh tubuhnya hancur, dan mayatnya di masukkan ke dalam peti. Aku yang mengirimkan jenasah itu kepada keluarganya. Emi dan dua puterinya yang sudah remaja menangis tersedu-sedu menghadapi kematian Munaf.
"Sabar ya," kataku pada Emi.
"Iya Mas..."
Aku kembali ke Jakarta. Emi memberiku nomor telepon. Katanya sudah menganggap aku sebagai saudaranya sendiri. Sampai di Jakarta, aku mengirimkan barang-barang milik Munaf. Sesekali aku menanyakan kabarnya. Komunikasi pun menjadi intens. Apalagi aku bujangan lapuk, usia 40 tahun tetapi belum menikah. Cinta pun bersemi antara kami berdua.
Dan setahun setelah kematian Munaf, aku kembali ke Jawa. Kali ini aku akan menikahi Emi. Aku naik kereta, sendirian melawan rasa bahagia yang memuncak. Kami menikah dengan sederhana. Dan dari pernikahan itu kami dikaruniai dua orang anak. Dia istri sahabatku, sejak pertemuan pertama, aku merasa dia adalah jodohku. Ku hanya berharap bisa membahagiakan hidupnya, setelah semua kesedihan yang pernah dialaminya.
Jakarta,19 September 2013

No comments:

Post a Comment