Sunday, April 21, 2013

Bertemu Soeharto

WARTAWAN BADUNG
Aku adalah salah satu wartawan Jawa Pos, yang ngepos di Jakarta. Tetapi sekarang sudah mantan. Kenangan-kenangan waktu itu begitu membekas. Dan aku menikmati pekerjaan sebagai kuli tinta, meskipun banyak tantangannya, terutama saat mengejar nara sumber.
Aku dilahirkan di masa Orde Baru. Anggie kecil sangat akrab dengan nama Soeharto. Mungkin karena saking lamanya pentolan Orde Baru itu memerintah di Indonesia. Nama Soeharto begitu akrab di hati si Anggie kecil. Bahkan ketika SD sempat menulis surat kepadanya dan dibalas, namun balasan surat itu sudah hilang entah kemana. Jujur waktu kecil aku sangat ingin bertemu Pak Harto.
Waktu bergulir, pembelajaran politik selalu berkembang alamiah dalam diriku. Apalagi mendiang Bapak, juga sangat suka mengobrol politik, maka wawasan politikku pun berkembang. Di tambah lagi, setelah aku menjadi mahasiswa, aku masuk organisasi mahasiswa yang suka diskusi politik dan mulai aku melawan Soeharto. Dengan teman-teman aktifis kampus lainnya aku sering mendemo pemerintahan Orde Baru.
Selepas kuliah aku memilih menjadi wartawan. Itu karena dulu aku memang aktifis pers kampus dan tergabung di PPMI (Persatuan Pers Mahasiswa se-Indonesia). Jiwa petualangku makin mengental dan kebetulan aku diterima bekerja di Jawa Pos biro Jakarta.
Aku selalu tertantang untuk mewawancarai tokoh-tokoh di Indonesia. Nanti akan aku ceritakan pengalaman-pengalaman itu di sini, secara beseri.
Dan saat menjadi wartawan inilah aku bertemu Soeharto untuk pertama kalinya. Untuk wawancara Presiden, harus menjadi wartawan istana. Sebagai wartawan pemula, tentu saja aku tidak terpilih menjadi wartawan istana. Dan kisah bertemu Soeharto ini, terjadi sekitar 2 bulan sebelum dia dilengserkan mahasiswa.
Waktu itu, ada sebuah acara di Jakarta Convention Centre (JCC), aku lupa acara apa. Aku bertugas meliput acara yang lain, bukan meliput acara yang menghadirkan Pak Harto. Saat aku nongkrong di lobby, rombongan Soeharto datang. Aku yang belum pernah melihatnya langsung mendekat, ingin tahu.
Pengawalan ketat, para paspampres itu bermuka masam dan kejam. Pak Harto sendirian, tidak ditemani Mbak Tutut yang biasanya selalu mendampingi setelah Bu Tien wafat. Aku terus berusaha mendekat ke karpet merah, tapi didorong keras oleh seorang paspampres sampai jatuh. Tetapi kemudian aku bangkit lagi dan mengejar rombongan.
Tangan kananku bergegas mengambil kamera poket di tas. Aku harus memotret Pak Harto, dan nanti akan kupamerkan pada Bapak dan Ibu di kampung, begitu pikirku. Rombongan jalannya sedikit tergesa. Paspampres dimana-mana. Aku lari ke depan dan berdiri di depan pintu tempat acara pembukaan itu.
"Gocha..."
Saat berjarak sekitar 2 meter aku sudah siap dengan kamera. Seorang Paspampres mendatangiku dengan wajah sangar. Tetapi terlambat. Klik, aku sudah memotret penguasa Orde Baru itu dengan kameraku.
Jendral tua itu rupanya tahu gelagatku. Namun wajahnya tak menunjukkan rasa marah atau geram. Bahkan sempat berhenti, tersenyum dan melambaikan tangan ke padaku. Aku pun tersenyum kepadanya dan membalas lambaian tangan itu. Semua orang diam memandangi kami. Tidak lama kemudian Pak Harto jalan kembali masuk ke ruangan dan seorang paspampres berwajah galak menyeretku menjauh dari rombongan.
Jakarta, 22 April 2013

No comments:

Post a Comment