Tuesday, April 23, 2013

Kaca Mata Renang Ian Surya

WARTAWAN BADUNG
Saat-saat menjelang runtuhnya Orde Baru, Jakarta diwarnai unjuk rasa secara terus menerus. Mahasiswa semakin berani dan kompak dalam melakukan demontrasi. Wartawan pun juga dibikin sibuk oleh kegiatan ini.
Salah satu sohibku meliput unjuk rasa adalah Ian, seorang wartawan Harian Surya. Ian wartawan yang tangguh dan pemberani. Saat meliput unjuk rasa selalu berada di depan sendiri.
Unjuk rasa mahasiswa yang besar tak jarang terjadi bentrokan. Aparat keamanan yang menghadang pun kadang jumlahnya ribuan. Bahkan mereka kadang menggunakan senjata mereka untuk menembaki mahasiswa dan menyemprotkan gas air mata.
Ian bertubuh kurus, tinggi, berambut gondrong. Gayanya nyeniman habis. Bicara soal politik pinter banget. Aku selalu bersemangat kalau bertemu Ian saat meliput demontrasi. Mesti jadi tidak membosankan. Ian selalu tahu bagaimana caranya biar aman saat meliput demontrasi.
"Lu jangan di posisi mahasiswa, Gie, bisa-bisa kena peluru nyasar," katanya.
"Terus di mana dunk?"
"Ya di antara aparat dan mahasiswa," katanya.
"Oh gitu ya."
"Jangan pula di posisi aparat, ntar malah dikirain pro penguasa..."
Demontrasi terus marak, tempatnya berpindah-pindah. Sehari setelah tertembaknya 4 mahasiswa Universitas Trisakti, mahasiswa akan merunjuk rasa ke gedung DPR, mereka berkumpul di kampus yang berlokasi di Grogol itu. Aku pun ke sana.
Suasana mencekam. Aroma gas air mata kental sekali. Membuat mata menjadi pedih. Mahasiswa berkumpul di dalam kampus. Kali ini mereka akan berjalan menuju gedung DPR RI. Semua yang masuk kampus diperiksa oleh petugas dari kalangan mahasiswa. Syaratnya harus mengenakan jaket almamater kampus masing-masing atau menunjukkan kartu mahasiswa.
Di luar kampus, aparat sudah berjaga-jaga. Mereka juga menyiapkan panser gas air mata. Saat aku akan masuk ke kampus, aku melihat Ian di dalam kampus. Dia memberikan isyarat agar aku masuk. Setelah menunjukkan Id card wartawanku pada penjaga, dan diijinkan masuk, setengah berlari aku menghampiri Ian.
Kulihat Ian berpenampilan aneh. Dia mengenakan kacamata renang yang bingkainya berwarna biru. Dia tersnyum senang melihatku datang.
"Kacamatamu," kataku.
"Lho gimana sih, biar mata nggak pedih kalau kena gas air mata," ujarnya.
"Owh," kataku mengucek mataku yang pedih.
"Tuh pedih kan, nih kasih di bawah mata," katanya menyodorkan pasta gigi.
Ragu-ragu aku menerimanya.
"Kok?"
"Cepetan, kasih," katanya.
Aku pun menurut. Kuoles tipis-tipis mataku dengan pasta gigi itu. Ajaib. Rasa pedih itu pun berkurang. Ian, dimanakah kau sekarang?
Jakarta, 24 April 2003

No comments:

Post a Comment