Monday, April 22, 2013

Mbak Mega dan Ulat

WARTAWAN BADUNG
Sebagai wartawan politik, aku biasa mengunjungi rumah tokoh-tokoh penting Indonesia, saat mereka punya acara. Salah satunya adalah rumah puteri proklamator Bung Karno, Mbak Mega, di Kebagusan. Waktu itu Mbak Mega belum menjadi Presiden, masih menjadi Ketum PDI Perjuangan.
Malam itu, via bus kota aku menuju ke rumah beliau. Rumahnya memang agak ke dalam jadi harus sambung angkot dan ojek. Aku lupa acara apa, tetapi rumah Mbak Mega sudah penuh dengan tamu.
Mataku langsung tertuju di sebuah sudut dekat taman. Di situ menggerombol para kuli tinta yang sedang menikmati snak. Aku langsung bergabung di situ. Mereka adalah sohib-sohib yang sudah sering bertemu dalam liputan-liputan. Ada reporter televisi, ada wartawan radio, wartawan online, wartawan media cetak, maupun wartawan foto.
"Haiiii..." sapaku pada mereka.
Acara tengah berlangsung. Aku pun duduk di antara gerombolan itu sambil menikmati snak yang disodorin panitia. Di tengah asyiknya ngobrol (para wartawan badung nih, nggak ngikutin acara, malah ribut sendiri), aku melirik pada sebuah tanaman bunga. Ada makhluk kecil berwarna kecoklatan bergerak-gerak.
Keringat dingin langsung mengucur di tubuhku. Tanganku dingin dan gemeteran. Kotak makanan kecil yang aku pegang jatuh dari pangkuan. Merinding, deg-degan, lemes. Aku pun berteriak.
"Ulaaaaaattttt..."
Aku lari meninggalkan bangkuku. Semua orang menoleh ke arahku. Seorang wartawan pria, sory bro lupa siapa, berdiri dan bertanya.
"Ada apa Gie?"
"Ulaaaaat," aku menunjuk pohon bunga di pot tanpa berani menatap tanaman itu.
"Manaaa?" tanyanya lagi.
"Di situ, cepet buang, dah lemes nih badanku," kataku merasakan kakiku yg menjadi ga berasa.
Beberapa wartawan pria langsung mengobok-obok tanaman bunga Mbak Mega itu untuk mencari ulat. Mereka, menginjak makhluk-makhluk kecil itu di bawah pot. Aku tak berani melihat mayat-mayat bergelimpangan itu dan mencari tempat duduk agak jauh.
"Masya Allah, Gie, wartawan Politik Jawa Pos, takut sama ulat," kata seorang wartawan. Disambut tawa yang lainnya.
"Geli sih," jawabku masih merinding.
Jakarta, 23 April 2003

No comments:

Post a Comment