Saturday, October 27, 2012

Ayah, Kutentang Tetapi Kucintai

AKU DAN AYAH
Kalau sekilas melihat ayahku, pasti rasa enggan menyelimuti siapapun juga. Begitu Des membuka ceritanya kepadaku. Bukan hanya berwajah seram, tetapi juga bicaranya kasar dan suaranya keras menggelegar, meskipun hanya sedang berbicara biasa.
Menurut Des, mungkin karena Ayahnya orang Surabaya asli yang dibesarkan di kota pesisir itu. Di sana semua orang bicaranya keras dan kasar. Bahasa Jawanya juga berbeda dengan bahasa Jawa orang-orang Jawa Tengah yang halus penuh tatanan sopan santun.
"Ayah pemarah, mau menang sendiri dan kasar," ujar Des,
Dia tidak mengerti, selalu saja ada yang membuat ayah marah. Apapun yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti membuatnya marah. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan ibadah keagamaan seperti sholat, ngaji, puasa dan semacamnya.
"Untuk urusan ibadah ini, tak segan-segan Ayah memukul kami anak-anaknya bila melakukan kesalahan..." kenangnya.
"Terus reaksi kalian gimana, Des?"
"Kami empat bersaudara, dari kami semua, sebagian menurut, sebagian membangkang, dan yang membangkang itulah aku..."
"Lho kok bisa, membangkang gimana?"
"Aku menentang Ayah, lalu berkelana ke mana pun untuk mencari pencerahan, berpindah-pindah agama, dan ingin menunjukkan kepada Ayah pembangkangan itu..."
"Reaksi beliau gimana?"
"Ayah sempat stress menghadapiku, dan aku menghilang hampir dua tahun tidak pulang ke rumah," tambahnya.
"Pasti beliau sangat kecewa..."
"Iya, saat pulang aku diceramahi macam-macam, dan dengan jujur kukatakan bahwa aku sudah kembali menjadi Islam. Ayah senang sekali. Setelah petualangan mencari agama di luar tersebut, aku lebih bisa memahami Ayah, setidaknya sudah bisa menerima beliau apa adanya. Tidak lagi pusing-pusing mendebatnya dan memilih untuk mengalah..."
"Pengalaman batin dan pencarian yang berangkat dari amarah ya, Des..."
"Iya, aku tidak suka cara Ayah menanamkan agama dengan keras, karena agama kan mengajarkan kelembutan..."
"Iyaa sih..."
"Tetapi dibalik kekasaran Ayah, beliau adalah kepala keluarga yang bertanggungjawab, pekerja yang ulet, dan pedagang yang baik..." Aku terus menyimaknya.
"Ayah adalah guru agama di sebuah SMA, tetapi sebelum mengajar, Ayah dengan mobil boks mengangkut sayuran dari Malang ke Surabaya. Sebelum subuh, Ayah sudah berada di pasar untuk menyuplai sayuran. Dan itu dilakukan bertahun-tahun, sejak kami anak-anaknya masih kecil. Perekonomian keluarga kami membaik, awalnya kami tinggal di rumah nenek, tetapi kemudian Ayah membeli rumah, rumah yang sekarang kami tempati..."
"Kisah yang indah..."
"Itulah ayahku, seorang laki-laki yang kasar, tetapi hatinya baik, pernah menjadi musuh utamaku, tetapi juga sebuah pribadi yang aku kagumi karena kerja kerasnya, tahan banting dan tidak pernah menyerah meningkatkan ekonomi keluarga..."
Aku memandangi laki-laki itu sambil tersenyum.
Jakarta, 28 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment