Sunday, October 28, 2012

Papa Hanya Memberi Materi (Satu)

AKU DAN AYAH
Dear Mbak Anggie
Aku terpana, terdiam dan merasakan kegelisahan di dada, saat membaca cerita tentang “ayah dan aku” di blognya mbak Anggie. Sediiiihh. Pilu menyerang, karna itu membawaku kembali pada masa laluku bersama Papa, yang sudah tiada bulan Desember 2001
Aku ingin sharing cerita tentang aku dan Papa . Ada 3 kenangan yang tersimpan dalam hatiku.
KENANGAN PERTAMA
Aku anak kecil yang dimanja.
Aku adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara, kami semua cewek, makanya kami sering disebut 3 dara. Papa paling memanjakan aku, mungkin karna secara fisik dan karakter, aku lebih mirip Papa. Aku yang paling sering diajak papa pergi, kemanapun, bahkan ke kantor. Kepada teman-temannya, Papa selalu menceritakan kelucuan dan ke isenganku, hingga aku tersipu malu.
Yang paling berkesan kalau Papa mengajakku ke luar kota. Aku selalu duduk di depan, menemani Papa menyetir. Aku diperbolehkan menyetel lagu yang aku suka dan bernyanyi keras keras.
Hmmm... kenangan yang sangat menyenangkan bagi seorang anak. Dan kenangan indah ini selalu aku letakkan di memoriku yang ter atas agar aku bisa mudah mengingat hal-hal yang menyenangkan tentang Papa.
KENANGAN KEDUA
Aku Remaja yang bingung akan identitas diri.
Mbak Anggie, saat menulis bagian ini, aku menghela nafas panjanng . Dan tanpa terasa air mata menetes perlahan di pipiku.
Saat beranjak ABG, memasuki SMP SMA, perasaanku terhadap Papa mengalami perubahan. Pada fase ini, aku bingung menterjemahkan kasih sayangnya, yang selalu memanjakan aku dari segi materi, tetapi tidak memberikan dukungan pada kebutuhan psikis.
Pada usia ini, yang aku butuhkan adalah teman bicara. Tetapi Papa tidak memenuhi kebutuhan itu. Aku pun tumbuh menjadi pribadi yang pendiam, pemalu dan rendah diri. Aku bingung dengan jati diriku.
Aku merasa berbeda dengan teman-temanku yang lain. Aku sering mendengar teman-teman bercerita “kehebohan” dalam keluarganya. Ada yang menceritakan tentang ke jengkelannya pada saudara, , orang tua. Tetapi ada juga yang menceritakan tentang kehangatan pelukan orang tua saat mereka sedih atau terluka.
Dan aku tidak bisa menceritakan apapun, karena aku tak mengalami itu.. Aku tidak pernah merasakan diperhatikan dengan cara dipeluk ataupun sentuhan kasih sayang. Semua itu membuatku sangat gelisah. Pada usia remaja ini, aku belum bisa melihat sesuatu dari dua sudut pandang. Aku hanya mencoba membuat kesimpulan sederhana tentang apa yang sedang terjadi.
Mungkin hal ini terjadi karena Papa seorang tentara yang harus menerapkan kedisiplinan dalam keluarganya. Sikap Papa terkesan yang penting kebutuhan materi kami tercukupi semua. Aku merasakan kekosongan, gelisah , bingung dan tidak ada tujuan. Dan kebingingan ini terus terjadi sampai aku memasuki bangku SMA.
Pada masa SMA inilah terjadi klimaksnya, akumulasi dari rasa gelisah yang aku rasakan selama ini. Pada masa SMA ini, aku mencoba mengikuti gaya teman-temanku berinteraksi dengan Ayah mereka. Dan aku tidak berhasil, gagal.
Misalnya, saat aku ada masalah, aku diam di dalam kamar. Menghabiskan waktu di kamar mewah itu dan berharap Papa mengetuk pintu dan menanyakan: “Ada apa, sayang, lagi ada masalah ya?”
Papa memang mengetuk pintu. Tetapi setelah aku buka pintu itu dengan memendam rasa sedih, yang kutemui bukannya pertanyaan kasih, tetapi malah amarah. “Ngapain di situ, emangnya mikir apa, sampai sembunyi di kamar nggak mau keluar?”
Aku pun tambah sedih, ingin menangis, tetapi berusaha kutahan. Ku hela nafas panjang, dan keluar kamar untuk bergabung dengan yang lainnya menonton televisi, meskipun itu kulakukan untuk formalitas saja.
Kesimpulanku saat itu adalah, bahwa Papa hanya bisa melihatku dengan keceriaan ketika masa kanak-kanak. Tetapi Papa tidak siap menghadapi aku menjadi remaja dan dewasa. Papa seperti meninggalkanku saat aku butuh bimbingannya ketika mengalami perubahan pubertas.
Papa memperlakukan aku seperti anak-anak. Sampai SMA, kemana pun dan apapun kegiatan luar sekolahku, selalu harus bersama Papa. Beberapa teman sempat iri karena aku terlihat sangat dimanja. Tetapi sebetulnya mereka tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan .
Klimaks dari semua kegelisahanku adalah pada fase akhir kelas 3 SMA dan 2 bulan awal kuliah. Tak terasa menetes lagi air mataku, kalau mengingat cerita pada masa ini. Awalnya aku hanya ingin tahu reaksi Papa, bila beliau tahu kalo aku punya pacar, waktu itu aku sedang dilanda cinta monyet.
Ini adalah salah satu bentuk pemberontakan kecil dari aku. Kebetulan teman dekatku ini masih satu kompleks perumahan dan juga dari keluarga tentara. Tetapi masih ada darah campuran atau keturunan China, aku menjalin cinta dengan anak itu.
Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi kalau Papa tahu hal itu. Papa marah. Pada awal kali aku dekat dengan cowok itu, Papa dengan keras sudah berpesan kepadaku:”Hati-hati berteman dengan anak itu, Papa nggak suka , Papa tahu keluarganya”
Tetapi lama-lama bukan pesan lagi, melainkan ancaman yang dilontarkan Papa kepadaku: “Awas, kalau Papa masih liat kamu dengan anak itu, Papa akan ngomong sama bapaknya!”
Wah, ini bahaya! Akhirnya kami backstreet. Tetapi ketahuan saat awal kuliah, dan aku diberi ultimatum: “ Kalau kamu masih berhubungan dengan anak itu, berarti kamu tidak mengikuti aturan yang Papa buat, daripada Papa malu, lebih baik kamu keluar dari rumah ini, Papa nggak masalah kok kehilangan satu anak,
masih ada dua yang lain...”
Ya ALLAH, nafasku serasa berhenti dan jantungku serasa tidak berdetak. Aku bertahan untuk tidak menangis, menatap wajah Papa melalui kaca kecil mobil yang ada diatas dashboard. Karena kejadian itu saat kami berada di atas mobil, saat perjalanan ke luar kota.
Dengan sedih kulihat wajahnya datar dan tatapan matanya fokus ke jalan. Dari semua jawaban Papa sudah cukup buat aku, membuat kesimpulan sebagai jawaban dari kegelisahanku selama ini. Dengan mengatur nafasku, berkata kepada Papa: “Iya Pa, aku tidak akan berhubungan lagi dengannya.”
Mbak Anggie, di sinilah kebingunganku menyatu dengan amarah dan kebencian. Karena orang yang sangat menyayangi dan memanjakanku saja, tega mengusirku demi nama baik keluarga. Sungguh menyakitkan.
Setelah itu, aku lkebih banyak menghindari pergaulan sosial. Sedih rasanya bila melihat teman-teman yang keluarganya harmonis. Lebih baik menghindari mereka daripada rasa sakit hati itu mencuat lagi.
Fase inilah yang membentuk aku menjadi seperti sekarang. Aku berusaha menerapkan pola asuh yang sangat berbeda dengan pola asuh yang Papa berikan padaku. Aku tidak mau anak-anakku nanti menghadapi dan merasakan kesedihan yang mendalam seperti yang pernah aku rasakan dulu.
Ini adalah fase yang paling menyakitkan, tetapi juga fase yang paling berharga buat aku.
KENANGAN KETIGA
Fase Pemaafan. (bersambung )
Dikisahkan oleh Lolla

No comments:

Post a Comment