Saturday, October 13, 2012

Yang Penting Niat ? Kebodohan Dalam Memahami Arti Niat

Akhir-akhir ini manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau ,”Niat kita kan baik.” Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah segala macam yang tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak ada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada nya. Semua atas nama baiknya niat. Cukupkah itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan alasan baiknya niat? Sungguh tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang mengaku punya niat buruk. Bukankah para penjahat juga jika ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu, niscaya mereka mengatakan bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan isteri.

 

Seandainya memang amalan yang buruk atau jahat itu bisa menjadi baik karena niat dan yang haram bisa menjadi halal (bukan dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa bedanya ajaran yang suci ini (Islam) dengan Machiavellisme, sebuah falsafah -Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh Nicollo Machiavelli 5 abad yang lalu?.

Maka hendaknya berhati-hati dalam mengatakan (“Yang penting niat.”) atau (“Niat kita kan baik.”). Boleh jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia (dibawah ini) dan menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan sedang mengagungkan falsafah Machiavelli. (Na’uzubillah).

 

(Dari Amir l’Mu’minin Abi Hafsh Umar ibn Al Khaththaab Radhiyallahu ‘Anhu, berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, 

 

 

“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA, maka hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepada nya.” (HR: Bukhari-Muslim)

 

Hadits di atas begitu popular di kalangan kaum muslimin. Sering sekali kita mendengar ucapan: “Yang penting niat. Bukankah niat kita baik” Dan sangat boleh jadi pengucapnya hanya tahu sedikit atau sebagian dari kaedah ini. Mungkin dia mendengar hanya potongan dari hadits ini yang diucapkan seseorang, mungkin juga lengkap tetapi telah disimpangkan pengertiannya oleh orang yang ia dengar dari nya hadits ini. Akhirnya semakin jauhlah apa yang sering diucapkan kebanyakan kaum muslimin dengan maksud sesungguhnya dari hadits di atas, bahkan bertentangan sama sekali.

Sesungguhnya hadits ini sangat mulia dan keluar dari lisan manusia yang paling mulia. Oleh karena nya wajib bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari nya, sebagaimana para ulama kita memberikan perhatiannya yang khusus terhadap hadits ini.

 

Beberapa komentar para ulama di bawah ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya hadits ini di dalam Islam.

1. Imam Asy-Syafi’i, “Hadits Niat masuk di dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fiqh.”

2. Imam Ahmad ibn Hanbal,”Pokok ajaran Islam terdapat pada tiga buah hadits. Hadits Umar (hadits yang kita bicarakan sekarang), Hadits Aisyah, dan Hadits Nu’man ibn Basyir.”

3. Imam Syaukaani,” Hadits Niat merupakan sepertiga ilmu (-di dalam Islam-).

4. Imam Ibn Rajab,”Hadits Niat merupakan timbangan bagi amalan bathin, sedangkan Hadits Aisyah (من أحدث….) merupakan timbangan bagi amalah dzahir.”

5. Imam Abu Sa’id Abdurrahman ibn Mahdi,” Siapa saja yang hendak menulis sebuah kitab, hendaknya ia membuka dan memulainya dengan membawakan hadits Niat.”

 

Demikianlah di antara beberapa ucapan para ulama berkaitan dengan hadits Niat yang menunjukkan betapa mereka memberikan perhatian khusus terhadap hadits ini. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan hadits ini sebagai perkara yang pertama dibahas di dalam tulisan mereka, yang antara lain dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap hadits ini, agar para pencari ilmu membenarkan dan meluruskan niat mereka ketika mereka hendak mempelajari agama ini (Islam), dan juga tentunya masih banyak lagi faedahnya. Mereka -yang memulai kitabnya dengan hadits ini- adalah Imam Al Bukhari (dalam Shahih-nya), Imam An-Nawawi (Riyadlush-Sholihin dan Al Arba’in-nya), Taqiyuddin Al Maqdisi (Umdatul Ahkam), dan Imam Asy-Syuyuthiy (Jami’ush-Shaghir)

Di antara faedah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini -sebagaimana kita dapati dari keterangan para ulama- adalah:

 

1. Niat merupakan bagian dari Iman.

Niat merupakan amalan hati. Sedangkan ta’rif (difinisi) Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : Diyakini di dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dibuktikan dengan anggota badan dan perbuatan….Oleh karena nya pula Imam Bukhari meletakkan hadits ini di dalam Kitab Al Iman. Bukankah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala mencatat niat-niat baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita wujudkan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai berikut (artinya) :

“Maka barangsiapa yang bercita-cita hendak mengerjakan kebaikan tetapi belum mengamalkannya, ALLAH mencatat -bagi orang tersebut- di sisi-NYA dengan kebaikan yang sempurna”    (Muttafqun alaih)

 

2. Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya.

Setiap muslim wajib mengilmui sesuatu sebelum mengamalkannya. Apakah amalan tersebut disyari’atkan atau tidak, apakah itu wajib atau semata mustahab (disukai)? Dan telah masyhur bagi kita (kaum muslimin) sebuah kaedah yang berbunyi : (Ilmu sebelum berkata dan bertindak). Bahkan Imam Bukhari menulis demikian pada salah satu judul babnya. Dalilnya diambil dari Firman-ALLAH (artinya):

“Maka ilmuilah bahwasanya tak ada yang berhak diibadahi kecuali ALLAH dan istighfarlah atas dosamu”   (Muhammad:19)

Maka tidak layak bagi kita berkata, “Oh…jadi perbuatan saya itu salah, ya. Saya kan belum tahu hukumnya.” Terlebih lagi kalau itu perkara agama atau ibadah.

 

3. Disyaratkannya niat pada amalan-amalan keta’atan.

Amalan ta’at yang tidak disertai dengan niat tidaklah dikatakan keta’atan. Begitu pula kebaikan-kebaikan tidaklah menjadi ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah. Karena nya pertama-tama perlu kita mengetahui apa fungsi niat bagi amal.

Sesungguhnya niatlah yang membedakan sebuah amalan.   Pertama; dibedakannya amalan ibadah dengan kebiasaan atau yang bukan bersifat ibadah. Seseorang yang mandi keramas untuk kebersihan tak perlu berniat sebagaimana orang yang mandi keramas karena junub.     Ke-dua; dibedakannya antara ibadah yang sama satu sama lain. Jika kita dapati seseorang berpuasa di bulan Syawal, misalnya. Maka boleh jadi orang tersebut sedang membayar hutang puasanya, boleh jadi ia sedang puasa Syawal, atau boleh jadi ia sedang puasa sunnat lainnya. Yang membedakan dan menentukan untuk apa amalan tersebut adalah niatnya.    Ke-tiga; dibedakannya maksud dan tujuan sebuah amalan. Seseorang mengerjakan keta’atan bahkan perbuatan yang bersifat ibadah. Maka apakah perbuatan tersebut diniatkan untuk mendapatkan keridloan ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala atau mengharapkan selain dari itu ditentukan oleh niatnya.

 

4. Pentingnya ikhlas di dalam beramal.

Ada sebagian ulama yang menafsirkan ma’na Niat ini dengan Ikhlas. Yang demikian juga benar, karena artinya: Sesungguhnya amalan-amalan itu bergantung kepada keikhlasan pelakunya. Sebuah amal -betapapun baik atau bermanfa’atnya itu- jika tidak dilandasi keikhlasan tidak akan diterima oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala.

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar beribadah kepada ALLAH dengan mengikhlaskan agama ini semata-mata bagi NYA…”   (Al Bayyinah: 5)

Sungguh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala tidak membutuhkan keringat atau harta kita. Dan mengikhlaskan amalan semata-mata karena ALLAH merupakan wujud mentauhidkan ALLAH. Artinya, ikhlas juga merupakan sebuah tuntutan dan konsekuensi dari diciptakannya kita oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala.

 

Sayangnya, masih banyak orang yang salah mengerti tentang ma’na ikhlas. Menurut mereka, ikhlas itu artinya tidak menuntut apa-apa dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala. Bahkan mereka beranggapan bahwa, barangsiapa beribadah untuk mengharapkan surga maka itu ibadahnya pedagang. Dan barangsiapa beribadah karena takut akan neraka maka itu ibadahnya budak. Ada lagi yang berkata, “Hendaknya kita malu untuk meminta-minta kepada ALLAH, karena IA telah banyak memberikan segala sesuatu kepada kita.   Apalagi, ALLAH Maha Mengetahui apa yang kita butuhkan tanpa harus kita meminta.”   Ada lagi yang lebih lancang -semoga ALLAH memberi nya hidayah- dengan memperumpamakan ikhlas itu keadaannya seperti kita buang air besar, di mana kita tidak memperdulikan apa yang keluar dari perut kita dan bahkan kita merasa lega setelah membuang nya.

 

Alangkah berbahayanya ucapan ini dan alangkah buruknya perumpamaan yang mereka berikan.

Pertama; mereka telah mendustakan janji-janji dan ancaman-ancaman ALLAH. Lantas buat apa ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala menjanjikan kita sorga dan menakut-nakuti kita dengan neraka, jika ibadah kita bukan karena itu ?

Ke-dua: mereka menantang kemurkaan ALLAH dan menolak keridloan-NYA. Dan jika orang tersebut tidak bertobat dari keyakinannya, sangat boleh jadi ia tak akan masuk sorga karena memang ia tak mengharapkannya, dan ia akan dimasukkan ke neraka karena mengatakan tidak takutnya kepada neraka. ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala menggambarkan ikhlas dengan perumpamaan yang baik, sedang mereka menggambarkannya dengan perumpamaan yang buruk.

Ke-tiga: menyelisihi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan merasa lebih baik dari beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saja berdo’a ,” Ya, ALLAH. Aku mengharapkan ridlo-MU dan Surga. Dan aku berlindung dari murka-MU dan Neraka.”

Ke-empat; melecehkan perintah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala. Bukankah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala telah memerintahkan hamba-NYA agar berdo’a:

“Dan berkata Rabb kalian: “Berdo’alah kalian kepada KU, niscaya KU penuhi untuk kalian…” (Al Mu’min: 60)

Hendaknya kita senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa diuji. Pertama; sebelum beramal, yakni berupa niat. Kepada siapa dan karena apa kita niatkan amalan kita ? Ke-dua; ketika tengah beramal. Boleh jadi amalan yang semula lhklas terganggu disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Sebagai contoh, kita marah ketika ucapan salam kita tidak dijawab, atau sedekah kita ditolak mentah-mentah, atau kita tambah bersemangat ketika tahu amalan kita ada yang memperhatikan. Ke-tiga; ketika amal telah berlalu. Tanpa sadar setelah mungkin bertahun-tahun kita sembunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan kita bangkit-bangkitkan jasa kita dahulu.

 

5. Baik buruknya amal bergantung kepada niat pelakunya.

Sebuah amal kebaikan akan menjadi ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan niat yang baik, berupa keikhlasan, Dan akan menjadi buruk manakala diniatkan dengan niat buruk, berupa ksyirikan -baik kecil apalagi besar-. Akan tetapi seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram semata-mata dengan alasan baiknya niat. Dan berangkat dari perkara inilah sesungguhnya judul tulisan di atas dibuat.

Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan pembatasan pada kata Amal, di mana yang dimaksudkan adalah amalan-amalan keta’atan. Apalagi kemudian beliau tegaskan dengan contoh Hijrah. Maka tidak boleh kita meng-qiyas-kan amalan yang baik ini dengan amalan yang buruk, seperti mencuri misalnya.

Namun akhir-akhir ini manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau ,”Niat kita khan baik.” Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah segala macam yang tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak ada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada nya. Semua atas nama baiknya niat. Cukupkah itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan alasan baiknya niat? Sungguh tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang mengaku punya niat buruk. Bukankah para penjahat juga jika ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu, niscaya mereka mengatakan bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan isteri-.

Seandainya memang amalan yang buruk atau jahat itu bisa menjadi baik karena niat dan yang haram bisa menjadi halal (bukan dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa bedanya ajaran yang suci ini (Islam) dengan Machiavalisme, sebuah falsafah -Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh si kafir Nicolo Machiavale ?.

Maka hendaknya berhati-hati dalam mengatakan (“Yang penting niat.”) atau (“Niat kita khan baik.”). Boleh jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia dan menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan sedang mengagungkan si kafir tadi. (Na’uzubillah).

 

Penutup

Masih banyak faedah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita petik selain yang telah disebutkan di atas seperti, keutamaan hijrah, balasan sesuai amalan, atau syarat diterimanya ibadah. Namun kami cukupkan pembahasan di dalam perkara yang berkaitan langsung dengan judul di atas dan dengan permasalahan yang hendak kami bahas.

Dengan melihat bagaimana para ulama berkomentar tentang hadits ini, tidak sedikitnya kitab-kitab yang diawali dengan hadits ini -bahkan itu semua adalah kitab-kitab yang terkenal-, dan begitu banyaknya ulama belakangan yang menguraikan nya, cukuplah ketidakhafalan dan ketidakpahaman kita akan hadits ini sebagai bukti ketidakseriusan kita dalam beragama.




Sumber :
Buletin Jum’at Risalah Tauhid Edisi 32
Dikutip dari situs Ahlussunnah Jakarta
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=705
Yang penting niat? Cukupkah Itu?  Penulis: Al Ustadz Abu Khaulah Zainal Abidin

No comments:

Post a Comment