Thursday, October 18, 2012

Mensucikan Jiwa (Tazkiyatun Nufus) Agar Akal dan Nurani Tidak Mati

Era globalisasi semakin menjauhkan manusia dari kesucian jiwa. Jiwa yang suci menjadi barang yang langka. Pencemaran batin dengan berbagai maksiat dalam bentuk kekafiran, kesyirikan, dan syahwat birahi, merambah deras melalui sarana media elektronik dan media cetak. Kini, apa pun yang dimaukan dan segala yang digandrungi oleh jiwa telah berada dalam jangkauan. Bahkan, dunia berikut gemerlapnya ibarat dalam genggaman tangan. Semuanya dapat dinikmati melalui sebuah alat komunikasi mini bernama telepon genggam.

 

 

Iman yang semakin menipis, kebodohan yang kian menebal, diiringi oleh semakin mudahnya segala fasilitas maksiat, semakin murah lagi canggih. Apa jadinya? Tak lain, jiwa semakin ternoda, noktah bahkan bercak hitam kian melekat dalam kalbu. Membuatnya semakin buta akan kebenaran, semakin buta akan kebaikan, hingga tak kenal yang baik dan tak mengingkari yang mungkar. Lebih parah lagi, noda-noda itu telah membalik pola berpikirnya sehingga yang baik dia anggap jelek, yang jelek dianggap baik, hal yang tabu dianggap biasa, dan rasa malu nyaris sirna.

 


 

Sungguh benar sabda Nabi Shalallahu alaihi wassalam,

“Apabila engkau tidak lagi punya rasa malu, berbuatlah sesukamu!” (HR. al-Bukhari)

Memang, apabila benteng iman telah roboh, tak tersisa selain benteng malu. Apabila benteng malu pun ikut roboh, tak ada penghalang bagi seseorang untuk melakukan maksiat walaupun di depan orang, di siang bolong dan terang benderang. Inikah buah dari modernisasi dan globalisasi yang kebablasan? Kalau ini buahnya, lantas apa yang dibanggakan darinya? Akankah kita membanggakan dekadensi moral yang semakin hari kian terpuruk, iman yang kian menipis, serta kebodohan yang kian menutupi akal pikiran dan hati nurani? Apa artinya kecanggihan teknologi apabila tidak tersisa nilai religi?

Kemanakah jiwa-jiwa suci itu?

Apakah itu hanya ada di masa dahulu, yang kini tinggal cerita dan kenangan?

Ataukah itu hanya sebuah kebanggaan yang kita banggakan dan hanya sebatas itu, tanpa kita mencontohnya?

Atau menjadi kebanggaan pun tidak, karena kini kebanggaan orang-orang telah beralih kepada bintang-bintang film, atlet, dan selebritas walaupun kehidupan mereka kelam?

Sungguh celaka apabila hal ini yang terjadi. Mereka telah kehilangan teladan.

 

Sampai kapankah ini semua akan berlangsung? Tidakkah kita segera mengakhirinya sebelum semakin jauh? Tidakkah sudah datang waktunya kita terbangun dari ‘mimpi indah’ dalam buaian setan, dan tersadar dari mabuk gemerlapnya dunia?

Allah Subhanahu Wata’ala telah berseru,

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadid: 16)

Toh, dunia seisinya tak ada nilainya dibandingkan dengan kenikmatan surga yang kekal abadi.

Toh, beratnya mengekang jiwa tak sebanding dengan beratnya menahan siksa neraka.

Untukmu, mari menuju jiwa yang suci…

 

Definisi Tazkiyatun Nufus

Tazkiyatun nufus adalah rangkaian dari dua kata: tazkiyah dan nufus. Tazkiyah memiliki makna suci dan berkembang. (Mu’jam Maqayis al-Lughah dan Tahdzibul Lughah)

Adapun nufus adalah bentuk jamak dari kata nafs, yang artinya jiwa.

Jadi, pembahasan tazkiyatun nufus atau tazkiyatun nafs artinya pembahasan mengenai penyucian jiwa dan pengembangannya, agar semakin bersih dan suci sehingga berkembang dengan semakin tunduk kepada Rabbnya, serta berkembang dengan banyak beramal.

 

Ibnu Taimiyyah t juga menjelaskan, “Asal makna zakah (atau tazkiyah, –pen.) adalah penambahan dalam kebaikan. Dari kata ini, muncul ungkapan, ‘Zaka az-zar’u,’ artinya tumbuhan itu berkembang. Demikian pula, ‘Zaka al-maalu,’ artinya harta itu bertambah. Kebaikan itu tidak akan berkembang melainkan dengan meninggalkan kejelekan, sebagaimana tumbuhan tidak akan berkembang melainkan dengan dibersihkan dari semak dan gulma di sekelilingnya. Begitu pula jiwa dan amalan, tidak akan berkembang melainkan dengan dibersihkan dari segala yang berlawanan dengannya. Seseorang juga tidak akan bersih dan berkembang melainkan dengan meninggalkan kejelekan, karena kejelekan itu akan menodainya.” (az-Zuhd wal Wara’)

 

Makna Nafs dan Pentingnya Pembahasan Tazkiyatun Nufus

Apa hakikat nafs yang biasa kita terjemahkan dengan jiwa?

Tentang hal ini, para pakar Islam dari kalangan ulama fikih dan akidah serta ulama ahli tafsir dan bahasa, telah banyak membahasnya, baik dalam literatur tafsir maupun mu’jam, yakni kamus-kamus Arab.

Ringkas kata, Ibnul Qayyim t telah membahas masalah ini juga dalam kitabnya, al-Arwah, yang kesimpulannya bahwa mayoritas pakar Islam berpendapat bahwa nafs atau jiwa dalam hal ini maksudnya adalah ruh.

 

“Hakikat keduanya adalah satu. Mereka yang berpendapat demikian adalah jumhur (mayoritas) ulama,” ungkap Ibnul Qayyim.

Meskipun demikian, dalam penggunaan kata nafs dan ruh terkadang memiliki maksud yang lain. Namun, yang dimaksud dalam kajian tazkiyatun nufus adalah ruh.

Makna ini telah didukung oleh banyak dalil, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits. Dalil-dalil tersebut menyebutkan kata nafs dengan makna ruh. Bahkan, disebut pula bahwa ruh ada yang baik (thayyibah) ada pula yang jelek (khabitsah). Dalam sebuah hadits, Nabi Shalallahu alaihi wassalam menceritakan proses pencabutan ruh seorang manusia oleh malaikat. Apabila manusia itu mukmin yang baik, malaikat mengatakan,

“Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau menuju ampunan dari Allah Subhanahu Wata’ala dan keridhaan-Nya.”

 

Lantas dibawalah nyawa tersebut oleh para malaikat ke langit, dengan bau yang sangat harum semerbak. Setiap kali melewati kumpulan para malaikat, mereka pun berkata,

“Ruh siapakah yang baik ini?”

Para malaikat pembawa ruh tersebut mengatakan,“Fulan bin Fulan,” disebutlah namanya yang terbaik semasa hidup di dunia.

Sebaliknya, apabila manusia itu adalah seorang kafir atau munafik, para malaikat mengatakan,

“Wahai jiwa yang jelek, keluarlah menuju kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala dan kemarahan-Nya.”

 

Para malaikat kemudian membawa ruh tersebut menuju langit, dengan bau yang sangat busuk. Setiap ruh tersebut melewati kumpulan para malaikat, mereka mengatakan,

“Ruh siapa yang jelek ini?”

Para malaikat pembawa ruh tersebut menjawab, “Fulan bin Fulan,” dengan menyebutkan namanya yang terjelek ketika dia hidup di dunia.

 

Demikianlah Nabi Shalallahu alaihi wassalam menjelaskan adanya jiwa yang baik dan jiwa yang buruk. Dalam hadits yang lain, beliau juga mengisyaratkan adanya ruh yang baik dan yang buruk.

“Ruh-ruh itu berkelompok-kelompok yang banyak. Yang cocok di antara mereka akan saling sepakat, dan yang tidak cocok akan saling menjauh.” (Sahih, HR. Muslim)

Ulama menjelaskan, “Yang baik akan cenderung kepada yang baik, dan yang jelek akan cenderung kepada yang jelek.” (Syarah Jami’ Shagir, an-Nihayah fi Gharibil Hadits, dll.)

 

Oleh karena itulah, dalam pembukaan khutbah, dahulu Nabi Shalallahu alaihi wassalam sering berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari kejelekan jiwa. Sabdanya,

“Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kami memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya, dan memohon perlindungan dari kejelekan-kejelekan jiwa kami.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan yang lain)

Beliau Shalallahu alaihi wassalam pun mengajari seseorang untuk berdoa,

“Ya Allah, lindungilah aku dari kejahatan jiwaku, dan kokohkan tekadku pada urusanku yang paling lurus.”

 

Masih ada lagi doa-doa lain untuk minta perlindungan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari jiwa yang jelek.

Melihat kenyataan yang ada, tentu amat penting bagi kita untuk senantiasa mengontrol kondisi jiwa kita serta mengusahakan segala hal untuk menggapai kesucian jiwa dan membebaskannya dari segala yang mengotorinya.

 

Ibnul Jauzi t mengatakan saat mengomentari hadits bahwa ruh itu berkelompok-kelompok, “Diambil dari hadits tersebut sebuah faedah, yaitu apabila seseorang mendapatkan pada jiwanya sikap lari dari seorang yang saleh, seyogianya ia mencari tahu sebabnya, lalu ia berusaha untuk membebaskan dirinya dari sifat tercela ini.” (dinukil dari kitab Dalil al-Falihin)

 

Sumber :  
Menuju Kesucian Jiwa,(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc) Majalah AsySyariah Edisi 079
http://asysyariah.com/menuju-kesucian-jiwa.html

No comments:

Post a Comment