Friday, October 19, 2012

Sopir Jemputan

CERPEN
Bang Muis memandangi mobil kijang tua itu. Bercat biru yang sudah lusuh. Dan juga ada goresan di sana-sini. Sudah lima tahun mobil itu bersamanya mengantar anak-anak pulang pergi sekolah. Mobil jemputan tersayang yang sebentar lagi akan pensiun.
Sebelumnya dia memiliki mobil Hijet biru, yang juga sudah sangat tua. Dari bunyi mesinnya saja terdengar seperti keledai lapar yang berteriak sumbang. Tetapi hijet tua itu sudah menemaninya hampir 20 tahun mengantar anak-anak pulang pergi sekolah.
Ada rasa aneh menyelinap di dalam hatinya. Pensiun sebagai tukang jemputan sekolah, ah sungguh menyakitkan. Anak-anak itu, berganti-ganti dari tahun ke tahun. Dan mereka sangat berbeda-beda, mulai dari yang usil, yang cengeng, yang nakal sampai yang pendiam sepeti batu.
“Aku akan merindukan mereka,” bisiknya dalam hati.
Dielusnya mobil itu. Sungguh, dia belum siap untuk pensiun. Dia ingin tetap bersama anak-anak itu, mengantar mereka ke sekolah dengan selamat. Menghibur mereka bila jalanan Jakarta macet, atau sekedar menggoda mereka dengan teka-teki lucu.
Bahkan Devina, anak kelas satu itu tidak mau sekolah kalau tidak diantar mobil jemputannya. Padahal orang tuanya memiliki mobil yang lebih bagus. Awalnya karena Ibunya ada keperluan mendadak. Lalu perempuan itu menelponnya, untuk sekalian mengantar Devina pulang.
“Titip Dev ya, Bang, saya ada perlu sebentar, daripada dia menunggu lama,” katanya.
“Iya, Bu," balas Bang Muis.
Gadis kecil itu diam di kelas sendirian. Wajahnya menahan tangis. Ketakutan karena hanya tinggal dirinya yang belum di jemput. Bang Muis kemudian menggendongnya dan bilang akan mengantarnya pulang. Karena bukan siswa pelanggan, Bang Muis mendudukkan Devina di jok depan di sampingnya.
Mobil jemputan memang mengantarkan siswa ke rumah mereka satu persatu. Dan harus bersabar karena letak rumah siswa yang berpencar di sana-sini. Salah satu rute yang harus ditempuh adalah melewati sebuah danau buatan di sebuah pinggiran bukit. Saat melewati danau itu, Devina begitu terpesona oleh air yang melimpah ruah biru membentang. Ada beberapa perahu yang mengapung disana.
“Kapallll...” seru Devina.
Siswa yang sudah langganan naik jemputan itu menertawakan gadis kecil kelas satu yang terlihat cengeng itu.
“Baru tahu ya, keciaan...” kata Donny siswa kelas 4 yang memang usil.
Melihat kekaguman Devina pada danau itu, Bang Muis menghentikan mobil jemputan itu dan membiarkan Devina dan semua anak turun untuk memandangi danau. Siswa yang lain ada yang senang tetapi ada juga yang protes.
“Biarkan saja, Nak, Devina kan baru kali ini melihat danau ini," kata Bang Muis pada murid lain.
Setelah gadis itu puas, Bang Muis meminta semua anak masuk kembali ke mobil. Dan Devina kembali ke tempat duduknya dan mulai menjalankan mobilnya.
“Setiap hari lewat sini ya Bang?” tanya Devina.
“Iya Nak...”
Besoknya pagi-pagi ibunya Devina menelpon dan meminta Bang Muis menjemput puterinya. Dia tidak mau sekolah kalau tidak naik jemputan itu. Dan mulai hari itu bertambah satulah pelanggan jemputannya.
Bang Muis nyaris menangis bila ingat semua itu. Semua siswa yang ikut jemputannya memberikan makna bagi dirinya. Baginya mengantarkan dan menjemput anak-anak itu bukan hanya sekedar pekerjaan agar dapat menghidupi keluarga. Tetapi ada kepuasan batin karena anak-anak itu. Cerita-cerita tentang anak-anak itu membuatnya bahagia.
Dan sekarang dia akan pensiun. Sekolah akan mengganti mobil baru. Dia sudah terlalu tua untuk menjalani profesi sebagai tukang antar jemput sekolah. Hatinya kembali perih. Bukan apa-apa, selalu ada rasa bilakah anak-anak itu akan terlantar setelah dia berhenti. Kegetiran itu bukan tanpa alasan.
Beberapa bulan yang lalu, Bang Muis sakit. Tentu saja harus ada yang mengantarkan anak-anak itu pergi ke sekolah. Namun adakah yang bisa sepertinya, menjadi tukang jemputan dengan sepenuh hati.
Akhirnya dimintalah si bekas sopir angkota Rusli menggantikannya untuk beberapa hari. Selama mobil jemputan disopiri Rusli, hampir semua ibu pelanggannya komplain. Ada yang anaknya ketakutan karena ngebut. Ada yang nyaris tertabrak motor, karena disuruh turun sendiri oleh Rusli dan ada yang tasnya hilang entah kemana.
Bang Muis meminta maaf kepada semua ibu itu atas semua yang terjadi. Dia benar-benar trauma dengan peristiwa itu. Menjadi sopir jemputan tidak bisa seperti sopir angkot, yang penting penumpang sampai tujuan. Mereka ini mengnagkut anak-anak kecil yang mesti dijaga dengan penuh tanggungjawab.
Setiap mobil jemputan akan berangkat, semua anak harus sudah komplit. Bang Muis juga selalu memeriksa barang bawaan anak-anak itu, terutama tas sekolah mereka. Seringkali dia juga melihat apakah mereka masih bersepatu, ataukah sepatunya dilepaskan entah dimana. Pernah seatu ketika seorang anak sepatunya tertinggal, sudah mau berangkat mobil jemputan itu, tetapi anak itu bercanda dengan teman-temannya, tanpa sepatu. Ketika ditanya dimana sepatunya, dia bilang nggak tahu. Terpaksa Bang Muis kembali ke sekolah dan mencari sepatunya.
Anak-anak kelas satu dan kelas dua yang paling butuh perhatian ekstra. Mereka seringkali lupa barang bawaan dan minta digandeng ataupun di gendong menuju mobil jemputan. Dan Bang muis dengan senang hati melakukan tugas itu sebagai tanggungjawab hidupnya.
Dan sekarang dia akan pensiun. Dia akan kehilangan semuanya itu. Tak ada lagi siswa yang menggelendot di pundaknya. Tak ada lagi anak-anak yang begitu ceriwis di sepanjang jalan. Atau seperti Khalil yang terus menerus menggoda murid-murid perempuan sampai mereka menangis menjerit-jerit karena dibuka roknya untuk dilihat warna celana dalamnya.
“Bu...” Bang Muis memanggil istrinya.
“Iya Pak,’ jawab istrinya.
“Buatkan kopi...”
“Iya Pak...”
Tak beberapa lama istrinya datang dengan secangkir kopi. Bang Muis duduk di beranda depan masih memandangi mobil tua itu. Memandangi rodanya, lampu-lampunya, atap dan semuanya. Benda itu telah mengantarkannya pada sebuah kehidupan yang dijalaninya dengan sepenuh hati.
Bukan pekerjaan yang hebat. Hanya sopir jemputan. Bila ada kesalahan sedikit saja, akan menjadi gossip bagi ibu-ibu bawel yang resek di sekolah. Benar-benar harus bertanggungjawab menjaga anak-anak itu dari rumah mereka sampai sekolah, lalu mengembalikan mereka ke rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa.
Pekerjaan ini bukan pekerjaan impian banyak orang. Kalau menyupir angkota, sehari pasti akan mendapatkan uang lebih banyak lagi. Atau sopir taksi yang gagah mengantarkan orang-orang kaya kemana-mana. Dia hanya sopir jemputan. Tanggungjawabnya terhadap anak-anak sangat besar, tetapi sering dipandang sebelah mata.
Dihirupnya kembali kopi dihadapannya. Sore telah jatuh, siang berganti malam. Mentari silih berganti dengan malam, mengambil usianya. Dan dengan secangkir kopinya dia menunggu saat-saat untuk pensiun. Sungguh, dia benar-benar akan merasa kehilangan...
Jakarta, 19 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment