Wednesday, October 17, 2012

Kedudukan Hati dalam Jasad

Hati bagaikan raja dalam jasad manusia, dan anggota badan yang lainnya adalah bagaikan tentara-tentara hati, yang selalu patuh dan taat pada perintah hati. Apapun yang diperintahkan oleh sang raja, senantiasa akan ditaati oleh para tentaranya. Hati-lah yang mengatur seluruh gerak anggota badan. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hanbali ).

 

 

Amalan yang muncul dari diri seseorang merupakan pencerminan dari apa yang terpatri di dalam hatinya. Baik dan buruknya jasad dan amalan dhohir manusia bergantung dengan keadaan hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika baik segumpal daging tersebut, maka akan baik pula seluruh jasadnya, dan jika rusak segumpal daging tersebut, maka akan rusak pula seluruh jasad tersebut. Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah Al Qalbu (jantung)” (Muttafaqun’alahi)

 

 

 

 

Hati memiliki peranan yang sangat utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Bahkan hati merupakan salah satu unsur dari tiga unsur syarat sah keimanan. Keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah meyakini bahwa iman adalah keyakinan dan pembenaran di dalam hati, ucapan dengan lisan dan amalan dengan anggota badan. Ini merupakan kesepakatan ahli ilmu sejak zaman dahulu, dan tidaklah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ini melainkan orang yang menyimpang dan orang yang sesat.

 

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullahu :

“…dan telah menjadi kesepakatan di kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, bahwa yang dimaksud dengan iman adalah perkataan, amal perbuatan, dan niat (keyakinan di dalam hati), dan tidaklah seseorang diberi balasan pahala melainkan dengan berkumpulnya ketiga hal tersebut”.(kami mengutip dari Kitab Mukhtashor Al Iman Al Kabir, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, hal. 31, Maktabah Darul Minhaj)

 

Maka orang yang meniadakan peranan hati dari definisi iman, sungguh dia adalah orang yang tersesat dengan kesesatan yang nyata. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang munafik. Orang munafik, secara dhohir menampakkan bahwa dirinya adalah bagian dari kaum muslimin. Amalan badannya sama dengan apa yang dilakukan Abu Bakar As Shidq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib dan para shahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Orang-orang munafik pun juga melakukan sholat berdzikir kepada Allah dan amalan-amalan ibadah lainnya.

 

Namun apabila kita menilik lebih dalam kepada hatinya, hakikatnya mereka adalah orang yang menyembunyikan permusuhan kepada Islam dan kaum muslimin. Sehingga Allah ta’ala mengancam mereka dengan ancaman yang sangat keras, Allah ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang munafik berada di kerak neraka yang paling dalam, dan tidak akan pernah engkau jumpai penolong bagi mereka” (An Nisa : 142)

Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki satu unsur yang sangat asasi dalam pengakuan iman mereka, yaitu keyakinan di dalam hati.

 

Seorang mukmin tentu akan berusaha memperbaiki amalan-amalannya. Dimulai dari yang paling asasi, yaitu pembenaran hati dan diikuti dengan pelurusan amalan-amalan badan dan lisan. Inilah keimanan yang hakiki, terpatri kokoh di dalam hati seorang mukmin, terpancar dari lisannya dan tercermin dari tingkah laku dan perbuatannya. Terkumpul pada dirinya tiga hal, keyakinan, pengakuan dan pengamalan, satu dengan lainnya tidak terpisahkan.

 

Allahu A’laam.




Sumber :
Kedudukan Hati dalam Jasad  (Hanif Nur Fauzi)

No comments:

Post a Comment