Friday, October 26, 2012

Babe Gue Raja Maling

AKU DAN AYAH
Perempuan itu, parasnya manis. Sayang tidak terawat. Sudah pasti kalau perempuan hidup dalam kondisi serba kekurangan, pasti tidak ada dana untuk merawat harta bernama kecantikan. Dengan celana leging coklat pramuka murahan, dan baju longgar bermotif batik yang sudah kusam, dia duduk menunggui kue dagangannya, di salah satu sudut pasar.
Usianya pasti masih muda. Bahkan lebih muda daripada usiaku. Mungkin karena terlalu kurus, terlihat kurang gisi, dan matanya yang cekung, memberikan kesan usia yang lebih tua dari yang sebenarnya. Aku duduk di kursi plastik, bersebelahan dengannya. Aku membeli beberapa potong kue miliknya, lalu biasanya dia memberikan tempat untuk duduk dan mengaso setelah lelah belanja, sambil mengajakku mengobrol apa saja.
“Mpok menghabiskan masa kecil di mana?” aku bertanya.
“Di Priok Mbak, kenapa?”
“Oh, jauh juga ya dari sini, katanya di situ banyak penjahat ya?” tanyaku kemudian.
“Begitulah lingkungannya, tetapi kami sekeluarga merasa aman kok,” ujarnya membuat aku tak habis mengerti.
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena Babe kan, ketua di lingkungan gue tinggal...”
“Maksudnya?”
“Babe...” dia menahan nafas, dan terlihat ragu untuk mengetakan sesuatu,”Babe gue raja maling di kawasan Priok dan sekitarnya.”
“Oh...” gumanku.
"Pernah ketangkep nggak Mpok?" rasa ingin tahuku menggelitik.
"Pastilah pernah, tetapi gue nggak pernah tahu, nggak ada yang cerita sama gue..."
"Gitu ya?"
“Babe gue baik, perhatian, lucu, suka humor, yang jelas sayang sama gue dan abang-abang gue, biar pun mata pencariannya mencuri,” ujarnya menahan getir.
“Gue tahu kalau Babe pencuri setelah gue remaja. Waktu kecil enggak tahu, bahkan gue deket banget sama Babe...”
“Gimana bisa tahu?”
“Anak buah Babe yang kasih tahu. Jujur gue malu sekali, malu punya ayah seorang pencuri, setelah tahu itu, gue nggak mau negur Babe. Gue kabur-kaburan aja dari rumah. Ada rasa jengkel, sedih, marah, nggak terima, dan nggak percaya, semua campur aduk nggak karuan,” tuturnya sedih.
“Pemberontakan gue bukan itu saja, gue kawin lari sama pacar saat masih sama-sama SMA. Bertahun-tahun enggak ketemu Babe. Hanya Nyak aja yang kadang datang ke rumah gue di sini. Tetapi waktu Babe sakit, gue merasakan rindu sama Babe, ya udah gue nengokin die. Karena nggak tega, selama Babe sakit, gue, anak gue dan laki gue untuk sementara pindah ke Priok. Dan betul, setahun kemudian Babe meninggal. Dan jujur gue sudah enggak lagi benci Babe waktu dia meninggal, gue sudah nggak peduli lagi apa kerjaan Babe, bagaimana pun dia Babe gue, yang udah ngebesarin gue...”
“Kata Mpok tadi, Mpok deket ma dia, deket gimana?” tanyaku ingin tahu.
“Iya, gue deket banget, terutama saat gue masih kecil. Soalnya gue anak kesayangan Babe. Gue sering diajak ke Pasar Senen, dan semua teman Babe yang di situ ramah dan memanjain gue, nggak tahunya mereka semua adalah anak buah Babe. Maling, copet, rampok dan lain-lain. Kalau lagi jalan-jalan ke Pasar Senen, minta apa saja diturutin, baju, mainan, termasuk juga makanan. Di dekat stasiun Pasar Senen itu ada tukang Laksa tempat gue dan Babe makan. Babe tahu kalau gue suka laksa...”
“Gue juga suka laksa, Mpok...”
“Gitu ya Mbak? Beberapa bulan lalu gue ke Senen, tukang laksa itu sudah enggak dagang di situ lagi...”
“Oh, sudah pindah ya Mpok...”
“Iya...”
“Ya udah deh, aku pulang dulu ya, mau masak dulu...”
“Iya mbak...”
Aku berjalan menuju parkiran. Mengambil sepedaku dan mengayuh perlahan meninggalkan pasar yang semakin ramai. Mentari mengintip di balik gumpalan awan..
Jakarta, 27 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment